BAB 23 - Sweet Cake

137 11 4
                                    

Hafidz Primadipta : Asha

Hafidz Primadipta : Sebelumnya kk minta maaf ya krn semalem gabisa ngajar

Hafidz Primadipta : kayaknya kk perlu cuti nih maksimal semingguan buat nyelesain urusan ini. Gapapa ya sementara aja kok seminggu ini kamu belajar sendiri dulu, kalo ada yang gak ngerti chat kk aja tanyain semuanya.

Hafidz Primadipta : Yaudah gitu aja. Maaf ganggu kamu

Asha memandangi kumpulan huruf yang bersatu menjadi kalimat, disusun oleh Hafidz dan dikirimkan untuknya. Chat tersebut telah Asha terima sejak setengah jam lalu dan ia belum tergerak sama sekali untuk mengetikan balasan kepada guru les privatenya itu.

Ia memainkan bibir, seolah tampak melakukan pertimbangan akan sesuatu yang sebentar lagi menjadi keputusannya.

Sebenarnya Asha merasa sedikit sangsi tentang balasan yang pantas untuk chat Hafidz telah tersusun rapi di kepala. Namun, ia merasa malu apabila benar-benar mengirimkan chat yang seolah tak sesuai dengan pribadinya sama sekali.

Lagian urusan macam apasih sampe seminggu gitu ngurusinnya? Bisa banget bikin kepo gue jadi setara sama Neta kan.

Sekali lagi perempuan bersurai kecoklatan itu mengetuk-ngetuk jarinya di layar ponsel, lalu menghela nafas. Ia telah mencapai keputusannya.

Asha Revillia W. : Iya kak, gapapa.

Dan, dari segala macam spekulasi yang bermunculan di benak, hanya balasan itulah yang mampu Asha kirim kepada Hafidz. Lagipula ia menyadari, urusan Hafidz bukanlah urusannya untuk apa ia bertanya-tanya tidak jelas. Tentunya, itu hanya akan mengganggu Hafidz.

Asha pun menyimpan handponenya di saku blazer. Ia lalu mengangkat tas tupperware yang sedari tadi tergantung di lengan kanannya. Menguatkan niatnya sejenak. Semoga saja perbuatannya ini tidak terkesan berlebihan atau apapun yang negatif.

Ia hanya ingin membalas kebaikan seseorang saja, bukan bermaksud lain.

*

Asha mencari-cari sosok Adriell ketika sampai di areal depo ranap. Tak lantas menemukan batang hidung laki-laki itu, ia memilih duduk di salah satu ruang tunggu obat. Kalau ia beruntung, seharusnya ia bisa melihat Adriell sedang berativitas di sekitaran sini; mungkin baru mengantar obat atau mengambil barang. Lalu ia bisa menghampiri Adriell dan mengatakan maksud tujuannya.

Tanpa perlu susah-susah mendatangi ruangan kaca disana, tempat para pekerja depo ranap sedang melakukan kewajiban mereka. Selain fakta, kalau ia menjunjung tinggi kesopanan, tak ingin mengganggu dan terlalu malu. Ia juga tak memiliki keberanian.

Asha melirik jam tangan biru langit yang terpasang di pergelangan tangan. 12.35. Dua puluh lima menit lagi shiftnya di depo jaminan akan di mulai, sampai kapan ia akan menunggu anak laki-laki itu muncul kalau dirinya sendiri tidak bertindak?

Chat aja apa ya?

Tapi belum tentu Adriell langsung membaca chatnya.

Asha kemudian mendesah dan bangkit. "Apa gue balik ke depo aja? tapi ini siapa yang makan?" gumamnya pada diri sendiri sambil menatap benda di tangannya. Yah, walaupun ia tahu kalau orang-orang di tempatnya bertugas siang ini tidak akan menolak dengan pemberiannya.

Dengan bibir mengerucut, Asha berbalik. Ia memutuskan menyerah.

"Asha?"

Asha memandang ke arah depan saat seseorang memanggilnya. "Eh, Devi?" katanya terdengar bertanya. Merasa agak kecewa bahwa bukan orang yang ia harapkan yang menghampirinya.

Our FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang