Bab 4

56.8K 6.7K 81
                                    

Zia sampai ke ruangannya dengan napas tersengal-sengal, ia memang berjalan kaki tadi, tapi sepanjang jalan yang dicarinya adalah Adam, dan Zia tak beruntung hari itu, karena nyatanya Adam sudah lebih dulu ada di kantor, entah jam berapa tepatnya ia sampai karena saat ini ia tengah sibuk dengan dokumen yang berantakan di atas meja, segelas kopi, juga laptopnya yang menyala.

Langkah Zia melambat sampai ke kursi kerjanya, matanya terfokus pada Adam.

"Pagi Mbak Zia ..." sapaan Gio bahkan tak dihiraukannya.

"Hai ..." suara lain dari sebelah Gio berdiri, "bener cakep ya," sambung Tito, cameramen.

"Tito."

"Zia," ucapnya membalas uluran tangan dihadapannya.

"Ditho." Serobot yang lainnya. "Jangan ketuker ya. Ini Tito dan saya Ditho." Sambung Ditho, si reporter.

"Zia."

"Ini bukan acara reunian. Apa kalian pada nggak punya deadline?!" sebuah bentakan membuat mereka serempak menoleh.

"Kerja bro!!" sahut Ditho lalu menarik lengan Tito.

Mata Adam masih terfokus pada laptopnya terhubung dengan earphone yang terpasang di telinganya, setelah semalaman ia menyaksikan berbagai program acara, kini ia masih melakukannya, sambil menulis catatan kecil di block notenya.

"Apa kamu juga akan duduk-duduk saja disitu!" Dedek yang duduk disebelah Zia menaikkan sebelah alisnya. "Kamu yang perempuan!" sebut Adam lagi.

Zia langsung berdiri dari tempat duduknya dan memutari meja ke sisi sebelah Adam. Adam sejenak memejamkan mata, kesal.

"Apa kamu tidak tahu apa saja persiapan praproduksi?"

"Eng ..." Zia mulai mengerutkan keningnya berpikir. Ia pernah terlibat dalam pembuatan film dan ia begitu cekatan disana, tapi pasti ada perbedaan antara disana dan disini, lagi pula ia baru belajar sedikit kemarin dari Dedek.

Pandangan Adam meneliti, "Tidak tahu?" tanya Adam lagi.

"Apa yang harus saya lakukan sekarang?" tanya balik Zia.

Adam menggertakkan giginya. "Seharusnya kamu cari tahu dari yang lainnya! Kamu datang kesini bukan sebagai training! Tanya Gio, apa saja yang harus dilakukan!"

Zia berjingkat kaget karena Adam membentaknya dengan sangat keras, wajahnya sudah memerah dan jangan sampai ada sungai yang menganak di pelupuk matanya, itu akan memalukan.

Semua tatapan mengarah ke meja mereka namun Adam tak perduli. "Gio, ajari dia khusus hari ini, sampai dia paham semua, besok jangan lagi biarkan dia yang mengerjakan sendiri." Dengan sigap Gio berdiri menarik tubuh Zia dari sebelah Adam. Gio mengambil beberapa berkas yang diperlukannya.

"Cepat bawa catatan mbak. Ayo!" bisiknya pada Zia.

Zia yang seperti robot hanya mengikut saja. "Mas Adam kalau lagi marah memang gitu. Lagi banyak pikiran mungkin nggak usah diambil hati," ucap Gio sembari berjalan bersisian dengan Zia.

***

Sepanjang jalan, orang-orang memperhatikannya penuh minat, Gio yang tampil sok pahlawan seperti pengawal yang siap menjaga putrinya, Zia sama sekali tak menggubris ia fokus pada apa yang dijelaskan Gio dan mencatat semuanya, ia tidak ingin Adam merasa kecewa dengan kinerjanya. Dulu ia cukup baik melakukan semuanya, ia bergerak lincah hingga menjadi kesayangan sutradara.

Adanya Adam sedikit banyak mengalihkan dunianya. Adam tidak tahu kalau dialah penyebab dirinya hilang fokus.

Jam makan siang hampir berlalu. Gio sudah mulai memegangi perutnya yang mulai keroncongan. "Mbak. Makan dulu yuk!" serunya.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang