Bab 18

50.2K 5.5K 62
                                    

Ia tak sedang bermimpi. Adam memang berada dalam dekapannya, tertidur pulas dengan sebelah tangan menopang kepalanya dan sebelah yang lain merangkul pundak Zia. Senyum terkembang diwajah Zia yang malah menyurukkan kepalanya ke dada Adam mencari kenyamanan.

Adamnya sudah kembali, pikirnya. Panas di tubuhnya seakan melenyap meskipun ia tak mengkonsumsi obat. Karena Adam lah obatnya. Sakit karena kerinduan yang mendalam hanya Adam seorang yang bisa menyembuhkan.

Adam mengeliat, Zia telah siap siaga dengan menutup kembali matanya. Adam mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa saat, yang ia tahu sekarang kalau itu bukanlah kamarnya. Adam meringis mendapati tangannya yang kebas juga tengkuknya yang sakit. Dengan perlahan ia memindahkan menarik tangan Zia, bukan terlepas justru malah semakin erat.

Decakan keluar dari mulutnya, Zia pasti sudah bangun, pikirnya. "Ini kepala Mas sakit. Geser bentar," seru Adam tak peduli.

Zia membuka matanya. "Mas mau pergi kan?" tudingnya.

"Ya pasti." Adam menyahuti cepat. "Mau mandi. Abis itu pergi kerja," tambahnya sambil bangkit dari kasur namun tak lupa ia memeriksa suhu tubuh Zia dengan telapak tangan yang mengarah ke kening.

"Udah nggak terlalu panas," gumamnya.

"Tapi masih sakit," Zia menimpali cepat. Alasannya tentu saja karena ingin berlama-lama dengan Adam.

"Kalau gitu ayo ke Rumah Sakit," kata Adam seraya menarik tangan Zia.

"Nggak mau!" tukas Zia. "Maunya cuma sama Mas, disini." Rengeknya.

Adam langsung menggeleng-geleng kepala dan langsung melangkah ke arah pintu. Dan Zia dengan langkah sigapnya mengekor dari belakang Adam.

***

Zia berbaring memiringkan tubuhnya di kursi kamar Adam, sementara Adam melakukan kegiatan paginya seperti biasa. Rasa pusing masih tersisa di kepala Zia meskipun badannya tak lagi demam, mungkin akibat ia terlalu keras kepala tak memakan apapun tadi malam.

Selesai memakai pakaian kantornya, Adam terdiam sejenak. Menimbang benarkah yang dilakukannya ini. Ia belum benar-benar menghadapi Ayah Zia, haruskah ia memupuskan harapannya terlalu dini. Tetapi rasa perih apabila Zia tak didekatnya membuatnya selalu ingin kembali. Kembali ke rutinitas yang selalu mereka lakukan bersama. Dan yang pasti kembali karena ia masih sangat mencintai Zia.

Adam bergerak saat mata Zia menangkap mimik wajahnya. Adam mengalihkan pandangan dan mulai membuka isi kulkasnya. Kosong. Hanya air mineral dan beberapa butir telur. Adam mendesah seharusnya ia membeli sesuatu semalam, tetapi otaknya memang tak teralih ke arah situ sejak dua hari yang lalu.

"Mas keluar bentar ya."

Zia dengan kepala berat langsung bangkit dari rebahannya.

"Jangan ikut." Adam melanjutkan mengetahui benar apa yang ada di benak Zia. "Cuma sebentar, sekalian beli obat."

Kali ini Zia hanya mengulum bibir bawahnya, merasa Adam ada benarnya. Adam mengambil jaket dan kunci motornya lalu mengecup singkat kening Zia dan menghilang dari balik pintu.

Adam menepati janjinya, ia kembali dalam waktu cepat, tak sampai tiga puluh menit. Tetapi bagi Zia itu sudah sangat lama karena sedari tadi ia hanya menatap ke arah pintu.

Adam membelikan bubur untuk Zia, ia langsung menaruhnya ke mangkuk. Menyuruh Zia untuk memakannya supaya segera dapat meminum obatnya.

Zia melenguh, tak suka dengan rasa pahit di lidahnya. "Mas..." rengeknya manja sekali lagi.

Adam melotot. "Makan Zia..."

"Kalau gitu duduk disini. Disebelah Zia. Kenapa masih jauh gitu duduknya."

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang