Air mata masih membanjiri pelupuk matanya. Tidak pernah ada kesedihan lain yang teramat menyesakkan datang ke hidupnya kecuali berpisah dengan Adam seperti saat ini. Zia lagi-lagi membanting ponselnya ke kasur. Adam tak juga mengangkat teleponnya. Apa yang dilakukan Ayahnya pada Adam ia sama sekali tidak tahu, pikiran buruk terus saja menjalari otaknya.
Atau... Adam sudah menyerah secepat ini? Tidak. Terakhir kalinya Adam memintanya untuk percaya kalau ia mencintainya sebesar dirinya mencintai Adam. Zia mengusap kasar air matanya, tak peduli apapun ia harus bersama dengan Adam. Ia melangkah cepat menuju pintu dan terhenti saat tangannya meraih gagang pintu.
Kepalanya menggeleng. Ia harus berpikir lebih cerdas, terkurung di kamar dirumah Ayahnya yang besar tak akan mungkin ada celah buat dia kabur. Jika pun kesempatan itu ada maka dalam sekejap Ayahnya pasti akan menemukannya, dan pastinya akan memperparah keadaan.
Zia kembali dan mengambil ponselnya. Mendial sebuah nomor. "Ma... tolong aku..!!" ucapnya tanpa basa-basi.
"Kamu kenapa?!" lengkingan keras disertai panik terdengar.
Zia menjelaskan masalahnya dengan cepat hingga akhirnya helaan napas berat dihembuskan Intan. "Berapa kali sudah Mama memperingatkanmu!" balasnya balik membentak.
"Nggak peduli berapa kali Mama memperingatkan Zia. Zia cuma mau sama Mas Adam," katanya tak kalah keras. "Mama... bantuin Zia ya... sekali ini aja..." ucapnya menambahkan dengan nada memelas.
"Bukannya Mama juga udah bilang kalau ada masalah kayak gini jangan minta tolong ke Mama..." balas Ibunya.
"Ma..!"
"Sudah lah. Mama tutup dulu, Mama lagi banyak kerjaan. Ikuti saja apa kata Papa mu... jika sudah melunak baru rayu lagi."
Zia mematikan sambungannya. Sama sekali tidak membantu. Kenapa Ibunya tidak sedikitpun peduli padanya. Zia kembali menghubungi nomor Adam, dan lagi-lagi ujungnya hanya suara operator yang terdengar. Adam lagi-lagi tak mengangkat telepon Zia.
"Mas Adam kemana sih..." gumamnya lirih.
Sebuah isakan kembali muncul, bersama munculnya pelayan ke dalam kamarnya. Membawakan makanan untuk Zia.
"Nona Tuan berpesan agar Anda menghabiskan makanannya." Kata pelayan tersebut sopan menaruh makanan di atas meja.
Menghabiskan makanan...
Alis Zia terangkat, tercetus sebuah ide dalam benaknya. Ya... ia akan mogok makan sampai Ayahnya menyetujui hubungannya dengan Adam. Akan dilihat sejauh mana Ayahnya akan bertahan. Bukankah Ayahnya selalu mengaku menyayangi dirinya.
***
Dari malam ke pagi hingga ia sampai di kantor dan melakukan aktifitasnya. Adam tetap diam, tak melirik ke arah ponselnya yang terus bergetar, dalam hatinya berkecamuk, antara marah karena tak tahu apa yang harus dilakukannya dan sesak karena terus mengingat Zia. Mengingatnya yang pasti saat ini sedang menangis.
Adam benci keadaan ini. Apa salahnya? Apa salah Zia? Kenapa memangnya jika mereka bersama? Kenapa jika mereka saling mencintai? Semua pertanyaan itu terasa menghantam otaknya. Dan lagi-lagi kesal menggelayuti jiwanya kala menanyakan... Kenapa Zia harus berasal dari keluarga kaya dan dia dari keluarga sederhana? Tidak bisakah mereka bersama hanya karena status mereka berbeda.
Pemantik menyala di dalam dirinya. Untuk itulah ia berada di kantor Ayah Zia saat ini. Untuk memperjuangkan Zia. Cintanya. Sekeras apapun Ayahnya berusaha menolaknya sekeras itu juga ia akan bertahan. Adam mendekati ke arah meja resepsionis. "Apa Bapak Rudi Soetopo ada di tempat?" tanyanya sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
General FictionSinopsis : Zia memercayai satu hal, jika ia menemukan jodohnya maka jantungnya akan berdebar hebat. Begitupun saat pertama kali ia bertemu dengan Adam, yang meski dalam situasi tak mengenakkan Adam tetap membuat matanya berbinar. Jatuh bangun mendap...