"Woy! Ngelamun aja lo."
Adam berdecak, tersentak saat Dian tiba-tiba datang dan menepuk pundaknya.
Dian menarik sebuah kursi dan duduk tepat disebelah Adam.
"Kenapa? Marahan lagi sama Zia? Sebenernya masalah kalian apaan sih? Kepo gue?""Nggak ada apa-apa."
"Kalau nggak ada apa-apa terus ngapain lo dari tadi mandangin tuh layar, mana nggak ngerjain apa-apa lagi."
"Sana deh! Jangan berisik, gue lagi nggak mau diganggu." Adam memang lagi sangat pusing, otaknya terus berpikir bagaimana ia bisa meyakinkan Ayah Zia kalau ia pantas untuk bersama dengan Zia, belum berjumpa saja hatinya sudah gentar.
"Zia keliatannya cinta banget sama lo, terus lo juga jadi masalahnya apa? apa yang buat lo pusing? Masalah kerjaan? Biasanya juga lo langsung minta pendapat gue."
Adam mengusap wajahnya kasar. "Yang kali ini masalahnya bener-bener beda. Dan untuk yang ini gue nggak bisa cerita banyak ke elo."
"Putus sahabat nih ceritanya!" Dian menyilangkan tangannya. "Gue kesini sebenernya mau kasih kabar lain ke elo."
"Apaan?"
"Ah... mood gue udah jatuh duluan gara-gara lo."
"Gitu aja ngambek."
"Kalau gue kasih tahu. Janji ya lo bakal cerita ke gue?"
"Pamrih lo! Kalau emang nggak niat ngasih tahu nggak apa. Gue nggak masalah."
Dian berdecak kesal, lalu mengambil kartu nama dari balik saku bajunya. "Nih!" letaknya kasar di atas meja.
"Lo masih inget Pak Rahim kan? Mantan Eksekutif Produser kita dulu."
Adam mengangguk. "Yang sekarang udah jadi Direktur di stasiun TV sebelah. Kenapa? lo ditawarin kerjaan sama dia?"
"Bukan gue, tapi elo. Kemarin gue nggak sengaja jumpa sama dia. Katanya nomor kontak lo ilang, jadi dia nitip kartu namanya sama gue buat di kasih ke lo."
Dahi Adam berkerut."Sebenarnya gue agak ragu sih ngasihnya ke elo. Soalnya gue pikir lo nggak mau pindah lah dari sini. Apalagi sekarang ada Zia. Iya kan?" Dian tertawa geli. "Karena penasaran gue tanya-tanya sedikit kemarin. Katanya dia mau buka stasiun TV baru, terus dia mau ajakin lo buat gabung. Lo nggak mau main aman lagi kan Dam? Gue rasa ini kesempatan bagus," imbuh Dian dengan wajah serius.
Adam terdiam lama. Ia memang akan memulai dari awal, tapi plusnya ia tidak bekerja di perusahaan Ayah Zia. Mungkin ini memang kesempatan yang lebih baik. "Oke lah. Makasih infonya."
Dian menanggapinya dengan mengangguk. "Good luck." Ucapnya menepuk pundak Adam sebelum berdiri dan berlalu pergi.
***
Zia memanyunkan bibirnya. Lagi-lagi Adam ada urusan , dan bilang mungkin akan pulang lama. "Zia..." Zia menoleh bersamaan saat Rayhan melangkah mendekat.
"Menurut info dari manajernya, Musisi yang mau diundang Tata -Talent Staff- lagi ada di rumah."
Zia mengerutkan dahi. "Terus?"
"Kita kesana ya? Sekalian mastiin dia bersedia dateng ke acara talk show kita apa nggak?"
"Loh, kenapa nggak buat jadwal aja sama manajernya langsung."
"Udah. Cuma masalahnya dia jawabnya nggak pasti, sementara kita butuh dia buat jadi bintang tamu minggu ini."
"Terus Tata kemana? Kan harusnya dia yang ngurusin ini."
"Dia lagi cari pengisi acara yang lain. Kalau-kalau si Musisi ini nggak bisa."
"Ya udah. Biar aku yang kesana sama supir kantor."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
General FictionSinopsis : Zia memercayai satu hal, jika ia menemukan jodohnya maka jantungnya akan berdebar hebat. Begitupun saat pertama kali ia bertemu dengan Adam, yang meski dalam situasi tak mengenakkan Adam tetap membuat matanya berbinar. Jatuh bangun mendap...