Bab 5

55.2K 6.3K 83
                                    

"Mbak nggak makan siang?" tanya Gio.

Hari telah berlalu, rencananya untuk pindah secepatnya jadi urung karena kejadian itu, dan hari ini Zia seperti anak yang tak mendapat mainan baru yang diinginkan, cemberut dengan wajah ditekuk, irit bicara.

Mengalihkan seluruh perhatiannya pada pekerjaannya.

"Nggak. Kamu duluan aja." Jawab Zia sekenanya. Ia begitu kesal. Adam bahkan tak berniat menegur atau mengatakan apapun padanya, tadi hanya diliriknya sekilas dan Adam tampak biasa saja seperti biasanya.
Pipi Zia memanas menahan kesal, saat Dian datang.

Mereka tengah berada di ruangan santai tempat para kru biasa berkumpul. Seharusnya Zia melakukan pekerjaannya di tempat yang lebih privasi jika tak ingin bertemu dengan Dian sering-sering.
Dian duduk menggeser tubuh Gio, Zia bergeser menjauh. "Lo yang beliin makanan kemaren? Gio sih yang bilang. Gue nggak tahu, Adam kasih gitu aja. Dia alergi udang soalnya," papar Dian.

Zia tersenyum tipis. "Nggak apa kok. Mau dimakan siapa aja juga terserah, lagian itu juga nggak sengaja belinya. Iya kan Gio?" lirik Zia pada Gio.

"Eh ... i-iya."

"Oh. Oke deh kalo gitu. Takutnya baru kenal udah nggak enakan. Rasanya gimana gitu," ujar santai Dian lalu kembali berdiri dan berbincang dengan rekannya yang lain.

Zia mendesah perlahan. Bukan membaik sebenarnya kekesalannya semakin bertambah, Dian seperti tahu banyak tentang Adam dan dia sama sekali tidak. Salah Adam juga yang terlihat begitu anti dengan dirinya. Ia berdiri tanpa mengucap apa-apa pada Gio hanya pergi begitu saja. Apa yang membuat seorang Zia yang terbiasa ceria menjadi melankolis seperti itu.

Sesungguhnya itu sudah terjadi beberapa bulan yang lalu, selepas kepergian Oma, ia susah menjadi periang, ditambah dengan permintaan Ayahnya ia harus beradaptasi ditempat baru, dengan orang-orang baru, juga keluarga barunya mungkin.

Ia yakin bisa bertahan, namun melihat sikap Adam lagi-lagi energinya berkurang setengahnya, ternyata tak semudah yang dibayang dan didambanya. Omanya terlalu mendeskripsikan berlebihan hingga ia selalu melambung tinggi mengenai sosok cinta sejati yang akan ditemuinya kelak, namun faktanya, wajah cantiknya justru tak menarik apapun disana.

Ia sudah sampai diruangannya, hanya ada Adam disana. Jika saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang bisa membaca pikiran seseorang mungkin sudah dilakukannya pada Adam sejak kemarin-kemarin. Zia duduk dengan malas, menghidupkan layar komputernya, memeriksa kembali note-note kecil dari balik buku catatannya.

"Saya dengar langsung dari Rayhan dia nawarin kamu ke timnya, dan kamu nolak kenapa?"

Zia menoleh. Air mukanya tampak kecewa, lalu berkata, "iya. Saya tolak kenapa?" tanya balik Zia.

Adam memandangnya lurus. "Seharusnya kamu menerimanya," ucapnya sambil membuang pandangan.

"Kenapa aku harus menerimanya? Sejak awal kamu seperti ingin mengusirku sejauh mungkin. Apa kita pernah ketemu sebelumnya? Apa aku punya salah denganmu?" ucap Zia meninggi.

Adam memutar bola matanya, ia paling malas melihat sikap sentimentil para wanita seperti ini, membuat pertanyaan satu miliar yang tak akan mampu ia jawab.

Tapi urung Adam akan menjawab, Zia merunduk dalam dengan sebelah tangan memegangi kepalanya, Adam langsung menggeser kasar kursinya dan dengan sigap menangkap tubuh Zia. Zia merasa kepalanya berkunang-kunang, sejak semalam yang masuk ke perutnya hanya sebuah apel.

"Kamu belum makan?" tanya Adam tepat sasaran.

Zia menggeleng lemas. Adam berdecak cukup kuat dan mengambil air putih miliknya, "minum dulu." Zia menerimanya dan dengan kode tangannya Kang Asep yang melihat langsung mendekat.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang