Zia benar-benar membiasakan diri di rumah barunya. Ia juga harus bangun lebih pagi untuk berberes rumah dan menyiapkan sarapan untuk Adam. Juga mempersiapkan diri sendiri karena Zia juga harus bekerja. Pergi ia akan berangkat dengan Adam sementara pulangnya tak tentu, sering kali ia menggunakan taksi dan turun di rumah Ibunya ketika Adam terpaksa harus lembur. Mesipun mobil Zia yang dulu diberikan oleh Ayahnya terongok di garasi Zia tak pernah sekalipun menggunakannya. Ia lebih senang jika Adam datang menjemputnya. Melihat sosok Adam meskipun baru keluar dari mobil adalah hal yang sangat dinikmatinya setiap hari, seolah ada yang begitu ditunggu disana.
Lebih dari sepuluh hari menetap disana semuanya terasa berjalan begitu baik. Adam tak sungkan membantu Zia mengerjakan tugas rumahnya sekalipun itu mencuci piring atau menyapu rumah. Ia terbiasa melakukannya. Lagipula hanya lantai satu yang mereka pergunakan. Tak pernah menyentuh lantai dua karena dianggap belum begitu perlu.
Dan hal yang paling Zia sukai dari seluruh kegiatan hariannya adalah bermalas-malasan di atas kasur dengan Adam sambil menonton tayangan televisi. Menjadikan paha Adam sebagai bantalan dan mengobrol tentang apa saja yang mereka lakukan di hari itu.
"Zia." Sebut Adam sambil mengelus kepala Zia yang berbaring miring.
"Hmm."
"Besok Mas masuk kerja."
Seketika itu juga Zia membalikkan tubuhnya. Memandang Adam dengan mata membulat. "Besok kan weekend ?!"
"Iya. Ada yang harus Mas urus sama Pak Ridwan juga. Ntar pulangnya lebih cepet kok."
Zia memberengut bangkit dari rebahannya dan duduk dipangkuan Adam memeluk tubuhnya sambil mengendus-endus wangi tubuh Adam yang sudah sangat dihapalnya kini. "Kita kan janji mau kencan keluar. Lagian malemnya Papa suruh makan malem di rumah kan? Abis deh waktunya nggak ada kesempatan kita pergi berdua."
"Akhir pekan sekali lagi kan masih bisa," ucap Adam dengan ketenangannya.
"Hmm..." gumam Zia yang semakin mengeratkan dekapannya.
Adam mengelus punggung Zia dengan gerak teratur, membuatnya begitu nyaman dan akhirnya malah tertidur. Pandangan Adam menatap kosong ke televisi. Sudah dua hari berlalu sejak Ibunya menelponnya sambil menangis. Adik bungsunya Arisa sangat ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan, sedangkan Ibunya yang merasa tak mampu membiayai hanya bisa menelpon Adam sambil menangis.
Jika saja saat ini ia masih sendiri mungkin Adam akan menyetujui untuk membiayai pendidikan Arisa. Namun, kali ini sudah ada Zia didalam hidupnya, fokusnya sudah terbagi, belum lagi tentang niatannya yang tetap kukuh membangun rumah dari hasil jerih payahnya. Adam menghela napas panjang, sepertinya ia harus berdiskusi dengan Zia. Dan mungkin ia juga harus mengurungkan niatnya membangun rumah untuk sementara waktu.
"Zi..." panggil Adam dengan suara pelan. Zia yang sudah terbang ke alam mimpi jelas saja tak menjawab.
"Zia..." panggil Adam lagi dengan nada lebih tinggi. Adam mengerutkan keningnya lalu meraih wajah Zia yang tertutupi oleh rambutnya. Adam mengulum senyumnya, ternyata Zia sudah tertidur, pikirnya. Akhir-akhir ini Zia memang lebih cepat tertidur apalagi kalau dalam pelukannya. Mungkin karena tugas hariannya sudah menjadi lebih berat, harus bekerja dan mengurus rumah.
Adam menarik selimut dan meletakkan tubuh Zia ke posisi yang lebih nyaman, ia lalu mematikan televisi. Kembali membawa Zia kedalam pelukannya dan mengecup pucuk kepala Zia berulang kali.
***
Zia terpaksa harus naik taksi pergi kerumah Papanya. Adam tak bisa menepati janjinya, ia terpaksa pulang lama lagi karena ada pertemuan lain yang harus dihadirinya. Pak Rahim yang mengajak jadi ia tak bisa menolak. Ia berjanji akan menjemput Zia nanti setelah selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
General FictionSinopsis : Zia memercayai satu hal, jika ia menemukan jodohnya maka jantungnya akan berdebar hebat. Begitupun saat pertama kali ia bertemu dengan Adam, yang meski dalam situasi tak mengenakkan Adam tetap membuat matanya berbinar. Jatuh bangun mendap...