Bab 17

44.6K 5.6K 59
                                    

“Kita putus aja.”

Mata Zia sama sekali tak berkedip. Merasakan mungkin saja saat ini kakinya sedang tak berpijak, sebuah kilasan yang mungkin hanya mimpi sesaat.

Tetapi lamunannya tersentak saat Adam malah merogoh kunci dari sakunya, memasukkannya melalui lubang di pintu dengan cepat.

“Mas...” ucap Zia menarik jaket yang dikenakan Adam.

Perasaan yang masih diselimuti emosi membuat Adam menarik jaketnya agar terlepas dari cengkraman Zia dengan kasar.

Mata Zia tiba-tiba mulai berkaca-kaca, saat menimang apakah yang diucapkan Adam tadi serius. “Mas. Mas nggak becanda kan?”

“Nggak,” sahut Adam tegas sambil memunggungi Zia.

Sontak Zia menarik kuat lengan Adam dan menggerakkan tubuhnya ke depan Adam agar bisa melihat ekspresi wajahnya. “Tapi kenapa? Apa alasannya?!” tanya Zia kalut.

Adam meraup wajahnya kasar. Begitu muak kenapa harus ada hal seperti ini dalam hidupnya. “Apa harus ada alasan seseorang minta putus!” ucap Adam dengan begitu tidak bertanggung jawab.

“Mas!!” pekik Zia kencang tak peduli penghuni lain mungkin akan mendengar keributan mereka. “Mas sendiri yang bilang mau pacaran sama Zia, mau bertanggung jawab. Terus sekarang apa?”

Tatapan Adam menajam, “karena itu. Karena aku nggak bisa lagi bertanggung jawab,” tuturnya lemah. “Kembalilah ke tempatmu sebenarnya. Yang jelas bukan disini. Dan bukan denganku.”

Air mata Zia sudah mengalir melalui sudut matanya. “Maksud Mas apa sih?!”

“Kembali ke apartemen mewahmu. Bukan ke tempat yang sempit dan sesak seperti disini. Kamu tahu sejak awal kita beda. Kenapa memaksakan diri?”

Rentetan kata-kata Adam semakin-lama semakin membuat bola mata Zia melebar. “M—mas..”

“Iya. Aku udah tahu semuanya. Aku tahu kalau kamu anak Rudi Soetopo, pemimpin tertinggi di tempat aku bekerja. Aku pikir sehebat itu bisa dapet program utama di kantor, tapi ternyata karena ada campur tangan seseorang dibelakangnya. Sejak awal padahal aku udah curiga kamu masuk melalui koneksi, herannya aku malah ngelupain kejanggalan itu.”

Air matanya semakin mengucur deras. “Ma—afin Zia,” ucapnya terbata.

Adam melepaskan genggaman tangan Zia di lengannya. “Aku udah maafin kamu. Tapi untuk bersama sepertinya kita nggak bisa lagi.” Dan dengan cepat masuk ke dalam kamarnya.

Zia tak bisa berkata-kata lagi hanya isakan yang keluar dari mulutnya. Berpisah dengan Adam? Bagaimana ia bisa sanggup melakukannya? Tidak, batin Zia.

***

Pagi harinya.
Zia bangkit dari tidur miringnya. Merasa kepalanya teramat berat, matanya pasti sudah sembab, pikirnya. Tetapi lagi-lagi hanya air mata yang keluar.

Kedua tangannya meremat sprei. Kenapa ia harus melalui semua ini hanya karena ia anak dari Rudi Soetopo. Apa ia tidak boleh mencintai Adam hanya karena hal itu? Zia menggigit bibir bawahnya, saat memorinya menyeret ke hari-hari bahagia mereka.

Zia berdiri dengan menghentakkan kaki. Tidak bisa. Ia tidak bisa berpisah dari Adam. Ia sangat mencintainya.
Zia menyambar kunci kamar Adam dari atas nakas dan berjalan cepat, sesaat ia meringis karena pusing tetapi ia tetap melanjutkan langkahnya. Sampai di depan kamar Adam Zia mengetuk pintu dengan agak keras.

Sama sekali tidak ada jawaban. Hari juga masih sangat pagi, mana mungkin Adam sudah berangkat ke kantor di jam segini, pikirnya.
Zia kembali melayangkan ketukannya. Dan sama. Pintu masih belum terbuka. Zia menggigit bibir bawahnya, meskipun agak meragu ia tetap mengarahkan kunci yang sedari tadi di genggamnya ke lubang pintu.
Saat Zia memberanikan diri masuk, Adam baru selesai mengancingkan bajunya. Ia melirik sekilas ke arah Zia namun selanjutnya tak menghiraukan. Membereskan tempat tidurnya menganggap seolah Zia tak ada disana.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang