Bab 27

54.7K 5.7K 101
                                    

"Adam..."

Bram menatap Intan dan Adam bergantian. "Loh kalian udah saling kenal? Ini Adam temannya Rahim juga."

Adam pun mendekat. "Nggak disangka yang dari tadi diceritain Pak Bram adalah tante Intan."

"Ah... cerita apa dia, pasti yang nggak-nggak. Ayo masuk Dam," sahut Intan yang masih belum hilang rasa terkejutnya.

"Eh. Tapi tunggu dulu. Kalian belum jawab, kenal dimana?"

Intan tersenyum mengamit tangan suaminya sambil berjalan masuk ke dalam rumahnya. "Adam calon suaminya Zia."

Sontak Bram menghentikan langkahnya menghampiri Adam dan menepuk pundaknya. "Ya ampun Dam... jadi yang dari tadi saya ceritain itu kamu. Ah... sempit banget dunia ini. Ayolah kebetulan banget kita jadi bisa ngobrol-ngobrol."

Rumah itu tak bertingkat namun luas, juga dikarenakan belum terlalu banyak barang sehingga begitu tampak lapang. Bram langsung mengajak Adam duduk di ruang tengah mereka. Sementara Intan beralih ke dapurnya mengambil minuman untuk Adam.

"Jadi kamu toh yang rencananya mau nikah sama Zia?"

"Iya, Pak. Baru mau ngelamar kok."

Bram tampak begitu senang, "Gitu ya. Tapi jangan manggil Pak lah. Manggil Om kayaknya lebih enak didengar."

"Iya Pak. Eh Om."

Tak berapa lama Intan datang sambil membawa nampan dan duduk disebelah suaminya. "Jangan banyak-banyak dengerin suami Tante, banyak omongnya." Sindir Intan disebelah Bram dengan maksud bercanda.

"Tapi kan yang di omongin bener." Sahut Bram.

"Mandi sana...!"timpal Intan cepat.

"Iya.. Iya..." ucap Bram mengecup kening isterinya lalu beralih ke kamarnya.

"Minum Dam."

"Iya, Tan." Adam mengambil cangkir teh dan meminumnya sedikit. "Tante pindah ke sini nggak kasih kabar sama Zia?"

Intan tersenyum tipis. "Nanti aja."

"Makasih ya Tante..."

Intan menatap bingung. "Makasih kenapa?"

"Soal restu Papa Zia. Dari cerita Om Bram Tante dateng temuin Papa Zia." Adam tersenyum kecut. "Kalau cuma karena Adam yang datang setiap hari ke kantor minta ketemu rasanya nggak mungkin."

Intan langsung menggeleng. "Itu pasti jadi pertimbangan dia juga, usaha kamu pasti dilihatnya."

Adam tersenyum. "Dari cerita Om Bram juga, Adam jadi tahu kalau Tante sebenarnya sayang sama Zia. Tapi sepertinya Zia selalu berpikir sebaliknya, kenapa Tante nggak pernah tunjukin langsung ke Zia?"

"Si Bram, semua-semua diomongin," cibir Intan. Ia menghela napas sebelum melanjutkan ucapannya. "Susah Dam. Memang udah salah dari awal, tapi nggak apa yang penting Zia nggak nolak ketemu Tante."

Kening Adam berkerut dalam. "Beberapa bulan yang lalu Zia nggak sengaja cerita kalau Tante nggak datang di ulang tahunnya yang kesepuluh, padahal Tante udah janji mau datang. Itu sebabnya dia buang boneka pemberian Tante."

Intan memijit ujung matanya, tampak seolah tak ingin membicarakan lebih tentang yang sudah menjadi masa lalu tersebut. "Tante sakit. Waktu itu penyakit paru-paru Tante kambuh, mungkin karena kelelahan bekerja, dan saat itu tante benar-benar harus dirawat intensif, sampai benar-benar sehat lagi."

Pandangan mata Adam meredup begitu melihat kesakitan di mata Ibu Zia. "Jadi itu cuma salah paham, kenapa tante nggak berusaha menjelaskan sama Zia?"

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang