Bab 8

50K 5.9K 87
                                    

Adam jadi tidak tidur semalaman ada yang mengganggu benaknya, tentu saja tentang pengakuan Zia, apalagi? Dia jenius sekali, malah menawarkan Zia kepada temannya seperti biro jodoh, jika ia jadi pria lain mungkin tidak akan disia-siakannya kesempatan yang ada di depan mata.

Adam melakukan rutinitas paginya seperti biasa. Dan tepat ketika ia melangkah keluar dan mengunci pintu apartemennya, perhatian matanya mengarah ke kamar Zia. Sedang apa gadis itu, batinnya. Biasanya Zia sudah sibuk mengetuk-ngetuk pintu apartemennya, dan kini hanya suasana sepi yang terasa disana.

Adam melangkah pelan ke depan pintu unit apartemen Zia. Tangannya menggantung hendak mengetuk, namun tercenung beberapa saat, tangannya kembali ke sisi tubuhnya, ia mengurungkan niatnya.

***

Hingga jam menunjukkan pukul sembilan lewat kursi kerja Zia masih tetap kosong. "Gio coba hubungi Zia, tanya kenapa tidak masuk." Perintah Adam.

Gio dengan sigap mengambil ponselnya dan menghubungi Zia. "Hallo ... Oh, gitu ya mbak ... Hmm ... Iya-iya ... Ya udah Mbak cepet sehat ya mbak."

Kerutan di dahi Adam sedari tadi tidak terelakkan tepatnya saat Gio mulai menelpon Zia. "Apa katanya?"

"Em. Mbak Zia sedang tidak enak badan Mas, makanya nggak masuk."

Adam hanya memandang datar, tidak marah-marah seperti biasanya, ia mengalihkan fokusnya kembali ke layar laptopnya, meskipun pikirannya terisi penuh dengan gadis itu. Ia menyesali kenapa tidak mengetuk pintu kamar Zia tadi pagi, setidaknya ia bisa melihat langsung Zia sedang sakit apa, siapa tahu parah.

"Dam ... gue punya berita penting buat lo." Adam terkejut sementara Dian sudah di dekat telinganya membisikkan sesuatu tadi.

"Bisa nggak sih nggak dateng tiba-tiba. Lo ngapain kesini di jam gini. Emang nggak ada kerjaan lo?"

"Ada. Banyak malah. Nih sekalian lewat aja, takut lupa."

Adam hanya menjawab dengan lirikan tajam. "Kemarin Zia nyariin lo sampe ke warung Bang Mul, awalnya dia nanyain gue deket apa nggak sama lo, trus gue bales tanya dia. Bukan nanya sih, lebih tepatnya gue ngepastiin. Dan lo tahu apa dia ngangguk waktu gue tanya dia suka nggak sama lo." Bisiknya kembali.

Adam langsung berdecak dan mendorong tubuh Dian menjauh. "Kerja sana!" usirnya langsung.

"Sok jual mahal lo ... jual murah aja kagak laku," umpat Dian lalu pergi.

Sekarang otak Adam semakin dipenuhi oleh nama Zia, hatinya semakin resah memikirkan Zia.

***

Siang ini Ibunya benar-benar menjemputnya, Zia siap dengan seribu alasan namun Ibunya membalas dengan dua kali lipat. Ia tidak bisa mengelak, dan terpaksa naik ke mobil yang dikendarai Intan. Demi apapun Zia malas berbicara dengan siapapun hari ini. Semalam momen indahnya benar-benar dirusak dengan ketidakpekaan Adam, ia bahkan secara terang-terangan menolak Zia.

"Kok nggak ngantor hari ini?"

"..."

Sembari mengemudi Intan berdecak melirik sekilas puteri semata wayangnya yang tidak juga mengeluarkan suara, ia sudah berniat menjemputnya di kantor tetapi Zia bilang dia sedang ada di apartemennya.

"Muka kok kusut banget, kenapa lagi marahan?" tebak Intan.

"..."

Zia semakin mengeratkan lipatan lengannya di dada, ia bahkan membuang pandangannya.

"Atau ... ditolak." Tebak Intan lagi terkekeh pelan.

"Ma ...!"

"Nah, kalau marah-marah gini berarti iya." Jeda sejenak. "Eh... tapi serius kamu ditolak, masa sih ...??" Intan menggeleng-geleng kepala tak percaya.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang