"Mama masih nyimpen semua ini?" tanya Zia terkejut saat Ibunya membongkar koper kecil yang diambil dari dalam lemari.
"Iya, baju-baju kamu kecil dulu Mama masih simpen. Mama sering liat-liat kalau lagi kangen."
Zia mengalungkan tangannya ke tubuh Intan. "Mama sih sok gengsi. Kalau kangen kenapa nggak dateng ketemu sama Zia. Kenapa Mama nggak tinggal bareng kami juga di Amerika."
Intan menepuk-nepuk lengan Zia. "Mama nyari makan disini. Opa kamu udah tua udah nggak sanggup kerja. Mama nggak mungkin lepas tanggung jawab gitu aja, Mama juga kerja buat mereka, buat bantu-bantu."
Zia menyurukkan kepalanya ke lekukan leher Intan. Merasa nyaman bersandar dengan Ibunya sendiri, ia tak tahu kepahitan apa saja yang telah dihadapi oleh Ibunya. Tapi dalam hati kecilnya, sama seperti Intan ia juga sangat menyayangi Ibunya itu.
"Ma. Ntar nikahan Zia Mama dateng kan, dampingin Zia."
Intan menggeleng. Zia mengangkat wajahnya menatap serius ke Ibunya. "Ma... satu kali seumur hidup. Masak Mama nggak datang."
"Mama nggak bisa."
"Kenapa? Apa karena disana ada keluarga Papa." Intan tak menjawab. "Mana ada seorang Ibu yang nggak hadir di pernikahan anaknya."
"Kalau memang nggak ada bagus dong. Berarti Mama pemecah rekor."
"Ma, Zia lagi nggak becanda."
"Mama juga nggak."
"Ma...!"
"Sayang..." teriakan Bram menggema dari arah luar.
"Hmm. Suami Mama udah pulang." Zia mengikuti langkah Intan keluar dari kamar.
"Loh... Ini." Bram tampak terkejut melihat isterinya keluar dengan seorang wanita yang sering ia lihat melalui foto. "Ah, ini yang namanya Zia... akhirnya ketemu juga. Wah... bener ya, cantiknya sama kayak Ibunya." Ucap Bram begitu bersemangat.
Zia langsung melirik Intan. "Mas." Tegur Intan.
Bram langsung tertawa hambar. "Haha... bukan gitu. Jangan salah tafsir loh. Maksud Om beneran cantik, tapi bagi Om tetap Mama kamu yang paling cantik."
Zia tertawa canggung. Bram lalu menjulurkan tangannya. "Kalau belum mau panggil Papa, panggil aja Om Bram." Intan menjawit perut Bram.
"Zia." Sahut Zia.
"Mas. Malam ini Zia nginep sini," ujar Intan.
"Wahh... bagus dong. Bisa cerita-cerita sama Om." Intan langsung memberikan kode kerasnya, cerita yang dimaksud Bram adalah cerita yang biasanya tak ada akhir. Benar-benar orang yang hobi mengobrol.
"Iya. Tapi Zia tidur sama aku. Mas tidur di kamar lain." lanjut Intan.
Bram langsung terdiam ia lalu melirik Zia lagi, "ah... pasti kangen ya udah lama nggak ketemu. Ya udah aku tidur dikamar lain." Ia lalu mengecup kening Intan lalu menuju kamarnya mengambil baju ganti untuknya.
"Om Bram kayaknya nurut banget sama Mama." Ucap Zia yang masih melihat ke arah menghilangnya Bram.
"Mama udah niat nggak mau nikah lagi. Tapi suami Mama itu terus ngejar Mama. Mama pikir memang harusnya Mama nikah sama orang yang cinta dan sayangnya tulus sama Mama. Lagian Mama juga sayang sama dia, meskipun sikapnya kadang aneh, tapi lucu."
"Ya. Mama sepertinya beruntung sama pilihan Mama kali ini." Sahut Zia. "Ma, masalah tadi.."
"Nggak usah dibahas. Oke." Sela Intan tak kalah cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
General FictionSinopsis : Zia memercayai satu hal, jika ia menemukan jodohnya maka jantungnya akan berdebar hebat. Begitupun saat pertama kali ia bertemu dengan Adam, yang meski dalam situasi tak mengenakkan Adam tetap membuat matanya berbinar. Jatuh bangun mendap...