Bab 26

51.9K 5.7K 101
                                    

Tak terasa delapan bulan telah berlalu. Hari ini Adam memakai kemeja barunya. Menyisir rambutnya ke belakang. Wajahnya pun tak pernah ia biarkan berkumis atau berjanggut lagi. Ia telah jauh lebih rapi dari Adam yang dulu, Adam yang tak pernah memperhatikan penampilan sama sekali sebelum bertemu dengan Zia.

Hari ini adalah salah satu hari penting dalam hidupnya. Dengan modal yang cukup dan tekad yang kuat hari ini Adam berencana bertemu dengan Ayah Zia, untuk meminta Zia langsung, melamarnya seperti yang selalu ia janjikan pada Zia.

Tadi malam ia sudah mengabari Ibunya dan Ibu Zia tentang niatannya. Dan kemarin ia sudah membuat janji temu dengan Ayah Zia melalui sekretarisnya. Dan pertemuan itu akan diadakan siang ini.

Setelah dirasanya penampilannya cukup rapi. Adam keluar dari mobil. Ya, Adam harus bersyukur perusahaan memberinya fasilitas mobil sejak sebulan yang lalu, yang ada dalam pikiranya adalah ia akhirnya bisa menempatkan Zia ke kendaraan lebih baik, dari pada harus berpanas-panasan terkadang berhenti ditengah jalan karena hujan turun ketika menaiki motornya. Tapi semua itu kenangan yang pastinya tak terlupakan oleh Adam. Motornya tetap jadi kebanggaannya sampai saat ini.

Adam masuk ke restoran dan langsung menuju ruangan yang diarahkan pelayan begitu ia berkata kalau ia tamunya Rudi Soetopo.

Begitu masuk ke ruangan. Seperti biasa Adam disambut dengan wajah tenang Ayah Zia. Ia duduk setelah dipersilakan.

"Saya kebetulan sudah makan tadi, lagipula setelah ini saya masih ada urusan. Jadi kita langsung saja ya. Apa yang ingin kamu katakan?" Ayah Zia memang tidak pernah berbasa basi.

Adam menarik napasnya, tadi malam ia sudah berulang kali menatap cermin berlatih berbicara. "Jika Bapak mengijinkan. Saya ingin melamar puteri Bapak." Ucapnya sedikit terbata.

"Kapan?"

"Saya berencana di hari ulang tahunnya Zia. Saya berniat memberinya kejutan."

Ayah Zia tak mengendurkan tatapan tajamnya. Adam mengambil sesuatu dari dalam saku celananya. Sebuah buku tabungan yang memang khusus ia peruntukkan untuk biaya melamar Zia kelak. Adam lalu meletakkannya ke atas meja.

"Apa ini?" tanya Ayah Zia dengan suara tegasnya.

"Ini memang tidak seberapa.Tapi ini hasil kerja saya yang saya tabung. Yang saya peruntukkan untuk melamar puteri Bapak. Seginilah kemampuan saya."

Rudi membuka sekilas isi buku tabungan tersebut. Adam menahan gugupnya memang isinya tak seberapa, tapi itu cukup untuk membuat sebuah pesta sederhana, menurutnya. "Saya akan menikahi Zia dengan uang itu."

Rudi menyodorkan kembali buku tabungan Adam. Dan berkata. "Saya tunggu kedatanganmu dan keluargamu. Di hari ulang tahun Zia." Ia lalu berdiri.

Adam mengambil buku tabungannya, ia masih belum mengerti arah sikap Ayah Zia. "Lalu. Ini.."

"Simpan saja. Kamu bilang itu tidak seberapa. Memang itu tidak seberapa, menurut saya. Jadi cukup datang dan melamar puteri saya, dan saya akan menerimamu secara resmi. Untuk urusan yang lain biar saya yang mengatur."

Batin Adam tersentak. Terdiam ditempatnya. Masih terdiam meskipun Ayah Zia sudah keluar dari ruangan. Adam benar-benar harus membesarkan hatinya. Ia menyemangati diri sendiri, tak apa, yang terpenting bukankah hubungannya dengan Zia akan segera diresmikan ke tahap yang lebih serius?

***

Pertemuan tadi siang memang masih membekas diingatan Adam namun ia sama sekali tidak memperlihatkannya kepada Zia. Ia tetap menjemput Zia dan tetap ingin menjalankan rencananya seperti semula.

Ini kali ketiga dalam delapan bulan terakhir Adam memiliki kesempatan bermain futsal dengan rekan lamanya juga Danish. Anak itu sudah sangat nyaman dengan tim futsal barunya, ia memang tak lagi tergabung dengan teman-teman tim futsal sekolahnya, berteman dengan orang yang lebih dewasa dan berwawasan ternyata lebih menyenangkan baginya. Dan semua itu berkat pertemuannya dengan Adam.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang