Entah apa yang membuat Zia berdiri lama di sisi penyeberangan jalan. Aku tidak berpacaran. Tentu karena satu kalimat yang keluar dari mulut Adam. Kalimat itu terus berputar sepanjang malam menjelang pagi hingga ia terpaksa bangkit dari ranjangnya untuk berangkat kerja. Ia tidak ingin bersikap kekanakan seperti kemarin dan memilih tidak masuk kerja.
Tetapi harapannya sudah pupus. Adam sukses membuat perasaannya naik-turun. Sebentar ia bersikap baik dan membuat pipinya merona, sebentar kemudian ia mengucapkan kata-kata yang mampu menghantamnya kembali ke kenyataan. Apa pria memang seperti itu? Tidak juga. Banyak yang mengejarnya dulu, dan hanya Adam yang menggantungnya. Kurang jelas apa ucapannya kemarin? Ia bahkan telah mengaku menyukainya.
Lalu apa? alasan keluarga? Kalau memang begitu setidaknya ia bisa memberi pengertian. Atau ada wanita lain yang disukainya? Zia tersudut dengan pemikirannya sendiri, lalu sekarang aku harus apa? Menyerah? Jika hatinya bisa diperintah mungkin dengan gampang ia bisa melupakan perasaannya, namun ia tidak memiliki resleting dihatinya, yang bisa ditutup dan dibuka semaunya.
Tetapi sepertinya Zia benar-benar harus mencobanya. Perkataan Adam sudah sangat jelas ia tidak menginginkannya. Zia mengangguk-anggukkan kepalanya lalu sebentar kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, banyak opsi yang bersarang di otaknya. Pindah ke apartemen Ayah? Pindah kerja? Atau pindah kembali ke Amerika? Semua pilihan terlihat sama tak baiknya. Jika harus memilih yang terbaik, maka jawabannya tidak ada.
Pindah ke apartemen Ayahnya, ia akan kembali kesepian dan ketika melihat Adam di kantor pasti akan ada perasaan rindu dan ingin memeluknya saat itu juga. Pindah kerja, sudah pasti ia akan sangat merindukan Adam dan tidak konsentrasi bekerja. Apalagi pindah ke Amerika, ia akan selalu sendiri dan bertambah frustrasi tak menemukan Adam dimanapun.
Zia benar-benar harus menyalahkan Ayahnya atas sifat yang diturunkannya untuk yang satu ini. Menaruh hatinya pada satu orang dan tidak akan pernah melepaskannya, ternyata sangat menyulitkannya.
Dan lagi lampu penyeberangan jalan berbunyi. Zia menghela napas dalam-dalam dan akhirnya melangkah dengan kepala menunduk.
***
Mata Zia menyipit, ada sosok wanita bertubuh agak lebar, memakai kacamata dengan rambut ikal terkucir tinggi menduduki bangku kerjanya. Semakin mendekat Zia semakin memperhatikan lamat. Apa sehari tidak masuk kerja ingatannya langsung berkurang? Sepertinya tidak? Ruangan ini juga orang-orangnya masih sama, dan ia yakin betul jika itu adalah kursinya.
"Maaf," tegur pelan Zia. "Anda siapa ya?" tanyanya meragu.
"Mbak..." Gio langsung menarik Zia agak menjauh.
"Itu ... em. Gini. Anu..." Ucapan Gio semakin tak jelas.
"Gio ... ngomong yang jelas," tegur Zia.
Gio mengambil napas dalam. "Pak Dino kemarin datang. Program diambil alih Tim Raihan dan Mbak dipindah ke Timnya." Kata Gio dengan satu tarikan napas.
Kening Zia semakin berkerut. Butuh beberapa detik baginya untuk mencerna ucapan Gio. Baru Zia hendak berucap sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
Kerutan di dahinya semakin dalam, ada nama Raihan disana. "Hallo."
"Zia kamu sudah datang?"
"Iya."
"Dimana?"
"Ya, dimejaku yang biasa."
"Sekarang kamu anggota timku, kamu langsung ke sini aja ya. Meja kamu udah siap disini."
Zia menutup sambungannya. "Mbak nggak liatkan. Kemarin ekspresinya Mas Adam. Beuh... udah kayak mau makan orang," ucap Gio sambil bergidik ngeri. "Ya, gila aja. Mas Adam yang berusaha, Mas Adam yang capek-capek mikirin ide, konsep. Eh... diserahin gitu aja ke Tim lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
General FictionSinopsis : Zia memercayai satu hal, jika ia menemukan jodohnya maka jantungnya akan berdebar hebat. Begitupun saat pertama kali ia bertemu dengan Adam, yang meski dalam situasi tak mengenakkan Adam tetap membuat matanya berbinar. Jatuh bangun mendap...