Bab 11

53.8K 6K 201
                                    

Alis Dian terangkat sebelah, pasalnya air muka Adam tak seketat biasanya, ada seberkas senyuman yang sedari tadi berseliweran di wajahnya. Hanya saja Adam berusaha menormalkannya hingga terihat aneh di mata Dian.

"Lo lagi senang kenapa?" cecar Dian saat keluar dari ruang rapat.

Adam hanya menoleh sekilas tak berniat menjawab. Hatinya sedang berbunga tentu saja, wajah Zia pagi-pagi sudah menghiasi ruang apartemennya, senyumnya bahkan tidak bisa hilang dari kepala Adam.

"Sok rahasia lo." Senggol Dian.

Rico melihat dua makhluk akrab itu lalu berjalan ke sisi sebelah kiri Adam. "Hei Dam ..." Katanya. "Udah lo sampein belom sama Zia. Gue mau tanya dari kemarin tapi ngeliat muka lo masih sumpek, nggak jadi."

Kini kerutan di dahi Dian semakin dalam. "Ada urusan apaan sih? Kok gue nggak tahu?"

"Ini urusan para lelaki. Jadi buat yang statusnya nggak jelas nggak usah ikutan," sindir Rico. "Ayo, Dam, lo deket-deket sama dia terus nggak kawin-kawin ntar."

"Heh ... ember bocor. Nggak ada ya hubungannya deket sama gue jadi nggak kawin. Yang ada lo nya yang emang nggak laku."

Rico semakin menarik tangan Adam, tak menyadari ekspresi Adam yang sedari tadi sudah berubah. Adam semakin menikmati hari-harinya bersama Zia, namun ia melupakan banyak hal termasuk para pria disana yang gencar mendekati Zia. Ia tak menampik jika kini ia ingin memiliki Zia hanya untuknya. Namun sisi-sisi pengecutnya sedikit timbul, bagaimana tidak? Banyak pria disana yang tentu lebih tampan, lebih mapan, dan lebih cocok dari segi umur dengan Zia. Namun harapan yang mampu dibangunnya adalah menawarkan tanggung jawab, ia bahkan belum memberi kepastian status mereka pada Zia.

Adam menghembuskan napas kesal. Ini tidak bisa lagi, pikirnya. Ia harus segera memastikan diri untuk menjadi satu-satunya lelaki gadis itu.

"Dam ... eh malah melamun." Tegur Rico, Adam bahkan tak sadar jika mereka sudah berjalan ke arah warung Bang Mul. "Jadi gimana?" tanyanya lagi.

"Ekhm... dia udah nggak satu tim lagi sama gue. Lo tanya sendiri aja sama orangnya."

"Yah ... gitu ya? Iya gue tahu sih sekarang dia di tim Raihan, tapi bro... kayaknya Raihan deketin Zia juga, yah.. kalah cepat deh gue."

"Oh... jadi pada berburu cewek cakep yang itu," sambar Dian. "Kenapa minta bantuan Adam. Salah orang lo. Sama gue dong ..."

Rico langsung menaikkan sebelah alisnya. "Emang lo deket sama dia?"

"Iya dong ... tapi sepertinya harapan lo udah pupus sebelom bertarung." Katanya ambigu sembari melirik Adam. "Dia udah punya kecengan."

"Ah, yang bener lo?"

"Iya. Cewek cakep mana mungkin nggak ada yang punya, model kaya lo mana lah dilirik sama dia." Ejeknya.

"Gue cakep tau," dengus Rico tak terima.

Dian terkikik sambil menempati kursinya, begitu juga Adam. Ia mengambil ponsel pintarnya, dan benar saja meskipun dengan nada non aktif, firasatnya mengatakan Zia akan mengiriminya pesan dan tanpa sadar senyumnya merekah.

"Mas dimana udah makan siang?" isi pesan Zia yang selalu begitu perhatian. Jika dilihat saat ini, mungkin Adam harus berbangga diri menjadi lelaki yang selalu mendapat sambutan manis dari Zia. Sepertinya dirinya memang terlalu egois, hanya memikirkan pekerjaan yang menumpuk, dan sering tidak merespon perhatian Zia padanya.

Tangan Adam bergerak mengirim pesan balasan. "Cie ... udah punya gebetan sekarang," seru Dian. " nggak pernah-pernahnya ngeliat lo megang handphone sambil mesam-mesem kaya gitu."

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang