Adam tersentak bangun dari tidurnya. Mimpi buruk membuat peluhnya bercucuran. Ia bermimpi sangat buruk, ketika itu mereka seperti ada disebuah bandara, Zia yang terus menangis karena ditarik paksa oleh Ayahnya, herannya ia seperti hanya diam dan tak bisa berbuat apapun bahkan menggerakkan kaki saja susah.
Adam mengerjapkan mata berulang kali, bersyukur itu hanyalah sebuah mimpi. Ia menormalkan detak jantungnya lalu menarik selimut yang membelit tubuhnya untuk selanjutnya turun dari ranjang.
Pintu terketuk. Adam menyipitkan pandangan siapa yang bertamu ke apartemennya pagi-pagi begini. Ia tak lantas menuju arah pintu, dan ketukan malah semakin kencang. Dengan gerak ragu ia akhirnya menuju pintu dan membukanya...
Tanpa kata seorang wanita langsung menerjangnya dengan dekapan erat. Sesaat Adam tak mampu berpikir sampai ia menyadari siapa wanita yang kini berada dalam dekapannya itu.
"Zia kamu nggak kabur kan?" Zia menepuk dada Adam. Sekian lama tak bertemu harusnya yang terlontar dari mulut Adam adalah kalimat manis.
Adam hanya membiarkannya beberapa saat. Membiarkan Zia puas memeluknya sampai ia melonggarkan tubuhnya. "Mas nggak kangen sama Zia..."
Adam menarik seulas senyuman dibibirnya, sambil memandangi wajah Zia dan menjulurkan tangannya meraih wajah Zia. Bohong jika ia tidak rindu, ia bahkan sangat amat merindukan Zia. "Biasa aja. Kan setiap malam teleponan." Kata Adam berpura-pura.
Zia mendengus berjalan melewati Adam lalu duduk di kursi sofa di kamar Adam. "Kamu kok bisa kesini?" tanya Adam yang masih penasaran duduk di sebelah Zia.
"Papa udah restuin hubungan kita." Wajah Adam tanpa ekspresi menatap dalam mata Zia. "Mas nggak seneng? Beneran... Papa udah restuin hubungan kita. Kalau nggak percaya Mas bisa tanya sendiri ke Papa."
Adam bukan tak senang. Ia terlalu bahagia hingga pikirannya kosong. Adam baru tersentak saat Zia menggoyang tubuhnya. Adam kontan mengecup kening Zia dan mendekap tubuhnya erat. "Kamu nggak bohong kan?"
"Nggak Mas... Zia juga terkejut waktu Papa sengaja datang ke kamar Zia tadi malam."
Adam mendapati dirinya hampir menangis, dengan perasaan lega luar biasa. Tapi bagaimana caranya? Ia bahkan tak pernah sekalipun diijinkan bertemu dengan Ayah Zia. "Kenapa tiba-tiba Papa kamu berubah pikiran." Tanya Adam yang mengendurkan dekapannya.
Zia mengendikkan bahu. "Mungkin Papa juga ikut sedih ngeliat Zia nangis setiap malam. Jadinya Papa restuin hubungan kita."
Adam kembali menangkupkan wajah Zia dengan jemarinya. Wajah yang telihat agak kurusan itu menatapnya dengan penuh kerinduan. Wanitanya, yang memang sangat layak untuk diperjuangkan. Adam bahkan tidak tahu ia harus apa? dan akan jadi seperti apa? jika Zia tak mencintainya sedalam ini.
"Hmm. Tapi Papa kasih persyaratan. Katanya cuma boleh nemuin Mas seminggu sekali sampai Mas datang ngelamar Zia." Zia mengubah ekspresinya menjadi penuh harap. "Bulan ini. Mas langsung datang aja ke rumah buat ngelamar Zia ya... kan Papa udah kasih restu."
Adam tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Untuk melamar kamu Mas butuh modal besar. Memangnya Papa kamu mau nerima Mas kalau Mas datang cuma bawa badan? Zia... Zia..." Zia memberengut.
"Lagi pula sekarang Mas lagi mau mulai karir di perusahaan yang baru."
Zia tercengang. "Maksud Mas?!"
"Iya. Mas udah ngajuin surat resign. Mungkin kurang dari sebulan Mas udah kerja di tempat yang baru."
"Mas kok ngga pernah cerita!"
Adam cengengesan sambil mengacak rambut Zia. "Belum waktunya Mas cerita sama kamu kalau semuanya belum pasti. Mas akan kerja keras dan kamu nggak perlu mikirin apapun. Cukup tunggu Mas datang ngelamar kamu." Goda Adam dengan kerlingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
General FictionSinopsis : Zia memercayai satu hal, jika ia menemukan jodohnya maka jantungnya akan berdebar hebat. Begitupun saat pertama kali ia bertemu dengan Adam, yang meski dalam situasi tak mengenakkan Adam tetap membuat matanya berbinar. Jatuh bangun mendap...