Bab 16

43.9K 5.4K 59
                                    

Langkahnya tak lagi bersemangat, bahkan tadi Adam hampir menabrak sesuatu ketika mengendarai kendaraannya menuju apartemen.
Di depan pintu kamarnya Adam terlihat gamang, saat pulang dari restoran ia begitu ingin cepat sampai dan membuktikan kalau ucapan Rayhan salah besar. Tetapi setelah memorinya terkumpul kembali Adam menjadi lesu. Kabar bahwa pernikahan Rudi Soetopo yang saat ini bukan yang pertama kali masih melekat dalam ingatannya.

Adam berhenti sejenak sebelum membuka kunci kamarnya dan masuk ke dalam. Perintah dalam otaknya meyakinkan kalau ia harus mencari kebenarannya. Untuk itu, Adam langsung membuka laptopnya dan mencari beberapa informasi disana, media online setaunya pernah menyoroti tentang Rudi Soetopo.

Tak puas, Adam kembali mengacak rak buku kecil miliknya. Ia terbiasa membuat kliping dari berita-berita media cetak yang menurutnya penting. Dalam hitungan detik kamarnya sudah berubah berantakan.

Banyak tajuk artikel mengenai Rudi Soetopo. Tetapi, jarang yang menyorot tentang kehidupan pernikahannya. Tetapi ada satu artikel yang membuat Adam terpaku. Sebuah foto keluarga kecil yang tampak bahagia, hanya saja wajah sang anak perempuan yang dalam genggaman tangan Rudi tak begitu jelas.

Kening Adam berkerut dalam. Ia membaca seksama isi artikel, yang lagi-lagi tak memuat cerita tentang kehidupan pribadi Rudi, hanya seputar pengembangan bisnisnya, sepertinya berita tentang kehidupan pribadi Rudi sama sekali tak boleh menjadi konsumsi publik, lalu Rayhan? Dari mana dia tahu? Batin Adam.

Tetapi menilik kembali isi foto Adam mengingat-ingat rupa wajah Ibu Zia yang tak sengaja bertemu dengannya tempo hari. Analisisnya tak salah foto tersebut sangat mirip dengan Ibu Zia. Atau mungkin memang dia.

Adam terduduk lemah. Jika semuanya benar seperti ini, lalu apa yang harus diperbuatnya dengan hubungannya dengan Zia yang sudah terlanjur dalam seperti ini.
 
***
Zia menggerutu dari balik kursi kerjanya saat Adam lagi-lagi tak membalas pesannya. Bukankah hari ini Adam masih menghabiskan jatah cutinya, itu artinya ia tak sibuk. Kenapa pesannya tak dibalas? Dumelnya dalam hati.

Waktu berlalu. Saat jam pulangnya tiba, Zia mempercepat langkahnya. Ingin segera menemui Adam dan melampiaskan unek-uneknya karena seharian tak dipedulikan oleh Adam.
Keluar dari pintu lift Zia melangkah cepat dan mengetuk pintu kamar Adam.

Tak ada tanggapan Zia kembali mengetuk. Kerutan di dahinya semakin dalam. Atau mungkin Adam sedang tak ada di kamarnya.

Zia memasukkan tangannya ke dalam tas selempang miliknya. Mulai mencari ponselnya. Bunyi sambungan segera sampai ke telingannya. Namun, hingga panggilan teralihkan Adam tak juga mengangkat.

Zia mendesah keras apa yang sebenarnya terjadi pada Adam seharian ini. Kemana dia? Zia kembali menelpon. Ah diangkat, teriak batinnya.

“Hallo Mas dimana?”

“...”

“Hallo...”

“Hallo Zia... ini Rico bukan Adam.”

“Kok ponsel Mas Adam sama kamu?”

“Iya. Adam lagi disini. Di kosanku. Um... sekarang Adamnya lagi di kamar mandi.”

“Oh. Kalau Mas Adamnya keluar bilang suruh telepon balik Zia ya!”

“Iya. Sip.”

“Thank’s.”

“Sama-sama Zia...”

Zia mendengus dan mematikan sambungannya. Dengan langkah berat ia harus kembali ke kamarnya sendiri. Kemungkinan Adam ada urusan penting disana.

***
“Lo lagi marahan sama Zia.” Rico menyerahkan ponsel  ke Adam. “Dia bilang lo suruh telepon balik.”
“Hmm.” Lagi Adam meminum minuman kalengnya duduk di permadani kos-an Rico sambil menatap lurus ke arah televisi.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang