Zia benar-benar kelaparan, sejak kemarin malam perutnya terus berbunyi meronta minta di isi. Makanan yang ada di atas meja memang sangat menggiurkan. Sekali lagi Zia menggeleng kepalanya. Tidak ia tidak boleh memakannya. Tapi jika tidak diisi sekarang juga Zia pastikan besok ia akan berakhir di Rumah Sakit. Dan ia benci Rumah Sakit.
Zia meringis kecut menghentakkan kakinya di atas kasur, rasanya begitu sulit menahan lapar. Dengan penampilan yang awut-awutan Zia turun dari atas ranjang. Sekali lagi melirik ke arah nampan. Zia menggeleng kuat lalu menuju pintu kamarnya. Membuka perlahan. Sepi tak ada siapapun.
Alis Zia terangkat, menebak siapa pemilik kamar yang ada tepat di depan kamarnya. Ah, ya bukankah dia masih ada dua adik lainnya. Jadi kalau tidak Danish, pasti Cindy. Zia berjingkat pelan agar tak mengeluarkan suara sedikit pun. Tak perlu mengetuk pintu Zia malah langsung membukanya.
Tak ada suara kaget dari orang yang berada di dalam kamar karena dia, tepatnya Cindy sedang berbaring memunggungi di atas kasur sambil menggunakan headphone. Zia bernapas lega, tahu itu kamar Cindy bukan kamar Danish.
Cindy terlihat sangat asyik dengan majalah dihadapannya, kepalanya juga bergoyang-goyang pasti mengikuti lantunan lagu, pikir Zia. Zia berjalan santai dan menepuk punggungnya. Cindy terkesiap dan langsung berteriak namun buru-buru Zia menutup mulut Cindy dengan tangannya. Bagaimana tidak Zia yang menggunakan dress tidur berwarna putih lebih seperti hantu.
Mata Cindy melotot kaget. Zia melepaskan tangannya. "Ini aku." Sebutnya dengan bahasa santai.
Cindy harus menormalkan detak jantungnya dulu sebelum mencerna apa yang sebenarnya terjadi disana. Dia ingin menyela tapi urung karena ia tak terlalu mengenal Zia. "Ada apa?" tanyanya ragu.
"Apa dikamarmu ada makanan?" tanya Zia tanpa basa-basi.
"Apa dikamarmu tidak ada makanan?" balas Cindy.
Zia memutar bola matanya, bagaimana harus ia menjelaskan pada remaja puteri di depannya itu. "Begini... Aku datang ke kamarmu butuh pertolongan, dan aku hanya butuh makan."
"Apa Papa tidak memberimu makan?" tanya polos.
Zia menahan napas kesal, lalu duduk di pinggir kasur. "Kamu ingin apa? ayo kita melakukan penawaran."
Cindy mengerutkan keningnya. "Penawaran? Maksudnya." Tanyanya lagi dengan kepolosan yang sama.
Sepertinya Zia benar-benar harus bersabar dengan anak Ayahnya yang satu ini. "Maksudnya... jika saat ini kamu kasih aku makanan, maka aku akan kasih apa yang kamu minta." Kata Zia dengan yakin. "Tapi jangan minta yang tidak-tidak. Dan satu lagi syaratnya, kamu nggak boleh kasih tahu tentang ini ke siapapun apalagi ke Papa sama Mama kamu. Gimana?"
Sekarang Cindy tampak berpikir. "Ah..." cetusnya sumringah. "Tiket konser. Bagaimana?"
"Tiket konser?" ulang Zia tak yakin. "Um... baiklah."
Cindy langsung berseru gembira melompat dari atas kasurnya, dan membongkar laci nakasnya paling bawah. Mengeluarkan semua snack yang dia punya. Dan sepertinya kegembiraan yang sama pun dimiliki Zia, ia langsung meraih bungkusan tersebut membukanya dan memakan isinya. Setidaknya lumayan untuk mengganjal perutnya, pikirnya.
Cindy memperhatikan lamat pada Zia yang makan seperti orang kesetanan. Sangat cepat hingga dua bungkus snack habis dalam waktu sekejap. "Yang ku dengar dari Mama kamu disini karena harus dipisahkan dengan pacarmu. Dan yang ku dengar lagi karena dia orang biasa." Kata Cindy. Zia melengos baru tahu bahwa Mama Tirinya itu ternyata suka bergosip.
"Kenapa kamu menyukainya? Apa dia setampan Romeo? Atau dia setampan idolaku ini." Cindy langsung menunjukkan majalahnya pada Zia.
Mulut Zia menganga, bagaimana bisa Mas Adam dibandingkan dengan pria-pria itu... "Menurutmu mereka tampan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
General FictionSinopsis : Zia memercayai satu hal, jika ia menemukan jodohnya maka jantungnya akan berdebar hebat. Begitupun saat pertama kali ia bertemu dengan Adam, yang meski dalam situasi tak mengenakkan Adam tetap membuat matanya berbinar. Jatuh bangun mendap...