Bab 6

53K 6.1K 74
                                    

Sebuah ketukan langsung membuat Adam berdecak, sudah berhari-hari ia terus diganggu, dan kali ini ia berniat tidak membuka pintu apartemennya. Dan ketukan itu kembali muncul. Dengan gerak malas di pagi hari, Adam akhirnya membuka pintu.

"Aku membuat sarapan pagi yang lumayan banyak," suara wanita dari sebelah tempat tinggalnya langsung menyambut. "Sayang kalau tidak dihabiskan."

"Terus," sahut Adam menaikkan sebelah alisnya.

"Aku ingin memberikannya ke Mas Adam," jawab Zia sembari tersenyum manis membuat Adam memijat pelipisnya, dan Adam membiarkan saja Zia yang mulai memanggilnya Mas seperti anak kantornya yang lain.

"Aku tidak lapar," jawab Adam sekenanya.

"Dicoba dulu... rasanya enak kok."

Adam mendesah, yang namanya roti isi sayur dimana-mana rasanya pasti sama. "Atau mau di bawa langsung ke kantor saja?" tawarnya lagi. "Kalau begitu Zia masukin ke kotak nasi dulu ya..."

"Eh ..." sergah Adam. "Siniin. Biar aku makan langsung aja."

Dengan membuka mulut lebar-lebar Adam langsung memakannya dengan cepat di depan Zia. "Sudah kan, jadi jangan ketuk-ketuk pintu lagi ... " ucapnya tak jelas dengan mulut penuh dengan roti.

"Ini masih ada satu lagi."

"Satu saja sudah cukup." Sahut tegas Adam. "nanti aku bisa telat . Sudah sana ..." sambungnya lalu kembali menutup pintunya. Zia kembali dengan hati senang setidaknya Adam sudah memakan makanan buatannya.

***

Lelah. Zia duduk di kursi di ruang santai di kantornya. Adam tak henti-hentinya menyuruh ini dan itu, dan ketika ia salah ia dipaksa untuk mengulanginya sampai benar. Zia tahu kalau ini mungkin akal-akalan Adam untuk membuatnya tetap sibuk dan tidak dekat-dekat dengannya, atau mungkin juga ia ingin Zia tak tahan dan segera pindah ke tim lain.

"Ada masalah lagi?"

Zia segera menoleh melihat siapa yang menegurnya. Raihan. Pria itu sepertinya tak seburuk pemikiran awalnya, ia cukup banyak membantunya. Apalagi ketika tugas yang diberikan Adam terlihat tak masuk akal ia dengan sabar membantu Zia.

"Hmm. Hanya sedikit, aku bisa menyelesaikannya."

"Aku sudah memberikan nomor telponku, aku akan senang jika diganggu olehmu," ucap Raihan dengan cengiran nakal.

Zia mengerucutkan bibirnya, "kamu kan sangat sibuk, seharusnya kamu marah kalau aku ganggu."

Raihan menggeleng kepalanya, "sebagai senior dan junior memang harus saling membantu." Zia memutar bola matanya, Raihan selalu beralasan seperti itu.

"Terus kenapa hanya aku? Masih banyak yang lain. Gio juga sepertinya kesulitan."

"Hmm.." Raihan tetap tersenyum dengan kepala mendekat hingga refleks Zia bergerak mundur, "masalahnya aku hanya ingin membantumu." Ungkapnya lalu mengacak rambut Zia. "Makan siang sepertinya cocok untuk membalas jasaku."

"Kamu yang menawarkan bantuan. Aku tidak minta." Sela Zia lalu berdiri.

Raihan tertawa dan ikut berdiri. "Aku yang traktir, bagaimana? Aku tidak punya teman untuk diajak makan siang."

"Eng ... pekerjaanku masih banyak. Kalau kamu mau teman untuk menemanimu, aku bisa mencarikannya."

Wajah Raihan berubah datar. "kalau begitu tidak usah, aku hanya ingin makan denganmu," ucapnya lalu pergi meninggalkan Zia.

Kenapa dia ... ? Batin Zia, mengendikkan bahu lalu kembali ke ruangannya.

Langkah Zia memelan saat disana lagi-lagi Dian duduk disebelah Adam.

SenseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang