Adam terbangun karena ponselnya berbunyi. Ia menggeser tubuhnya perlahan agar Zia tidak terbangun. Lalu meraih ponselnya yang terletak di atas nakas. Telepon dari Adiknya, Rina. Adam menggerutkan keningnya, masih pukul lima pagi ada apa adiknya tersebut menelpon.
"Hallo Na."
"Mas. Ini. Um. Kami mau balik."
"Balik? Balik kemana?"
"Balik, pulang ke kampung."
"Tunggu Mas bentar jangan kemana-mana."
Adam memakai cepat pakaiannya lalu menuju kamar keluarganya. Sampai disana keluarganya telah siap sedia dengan barang bawaannya.
"Kok buru-buru Buk. Ini masih pagi buta." Ujar Adam dengan suara agak meninggi.
"Ini Rizal –anak Rina- nangis dari tadi malem minta pulang. Udah nggak betah, udah dirayu gimana juga nggak mempan." Sahut Ibunya.
"Iya Mas. Rina juga bilang sama Ibuk biar Rina aja yang pulang duluan. Tapi yang lain malah minta ikut pulang juga."
Adam menghela napasnya. "Tapi Zianya belum bangun."
Ibu Adam menepuk pundaknya. "Owalah ya biarin, Nak Zia pasti capek. Nanti ada waktu Ibuk main lagi kesini, ajak isteri kamu pulang ke kampung juga."
"Iya Buk."
Adam berulang kali menghela napas panjang. Sampai ke lantai bawah tempat mobil terparkir, keluarganya masih enggan mengurungkan niatannya. Keponakannya juga sudah dibujuknya tapi tidak mempan.
"Titip salam sama Zia dan keluarganya ya. Nanti Ibuk telepon lagi kalau udah sampe." Ucap Ibunya sebelum naik ke mobil.
Adam berdiam cukup lama sepeninggalan mobil yang mengangkut keluarganya tersebut. Lalu dengan langkah gontai ia kembali ke kamarnya.
Disana Zia telah mengenakan kembali bajunya dan langsung menghampirinya. Entah kapan tepatnya ia terbangun, pikir Adam.
"Mas dari mana sih? Zia sampe panik Mas nggak ada disebelah Zia."
Adam mengelus kepala Zia. "Mas anter Ibu sama yang lainnya ke bawah tadi. Mereka udah pulang."
Zia memandang terkejut. "Kok cepet kali. Ini masih jam berapa?"
"Iya. Rizal nangis terus minta pulang."
Zia menundukkan kepalanya. "Oh..." gumamnya. Adam menarik tangan Zia kembali ke atas ranjang.
***
Zia bergerak gelisah dengan pipi yang semerah tomat. Bayangan Adam yang tanpa sehelai benang pun masih saja menggeranyangi otaknya. Bagaimana bisa ia terus memikirkan itu? Ingin rasanya Zia menghantukkan kepalanya ke jendela mobil.
"Khayalan mesumnya diudahin dong. Kita udah sampai nih," ucap Adam dengan mata ke arah depan membelokkan kendaraannya di pekarangan rumah Ibu Zia. Zia yang malu karena isi pikirannya tertebak sontak memukul lengan Adam.
Adam hanya terkekeh melihat reaksi Zia. Ia mematikan mesin mobil dan melepas sabuk pengamannya. Lagi-lagi Zia seperti hilang fokus melamun disetiap detiknya. Adam menyenggol tubuh Zia. "Mau sampai kapan disitu?" tegurnya dengan nada meledek.
Zia kontan menoleh dan langsung memberengut. "Harusnya Mas bukain pintu untuk Zia. Memang ya bener kata orang kalau udah jadi suami-isteri romantisnya hilang."
"Memang kapan Mas pernah sok-sok romantis bukain pintu untuk kamu? Biasanya kan kamu yang turun duluan."
Terang saja Zia semakin mengerucutkan bibirnya. Ia membuka pintu mobil dan berjalan lebih dulu mengetuk pintu rumah Ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
General FictionSinopsis : Zia memercayai satu hal, jika ia menemukan jodohnya maka jantungnya akan berdebar hebat. Begitupun saat pertama kali ia bertemu dengan Adam, yang meski dalam situasi tak mengenakkan Adam tetap membuat matanya berbinar. Jatuh bangun mendap...