Tak butuh waktu lama bagi seorang Rudi Soetopo untuk mendapat info detail tentang lelaki yang membonceng puterinya kemarin. Ternyata banyak yang ia lewatkan selama ini.
"Kamu yakin ini sudah semua? Tidak ada yang terlewatkan?" tanyanya pada Sekretarisnya.
"Iya Pak."
Rudi mengangguk. "Panggil Pak Sukardi!" perintahnya yang langsung di laksanakan oleh Sekretarisnya tersebut.
Tak lama berselang Pak Sukardi datang dengan wajah yang agak memucat, sebab ia tidak pernah berurusan langsung dengan bos tertingginya itu. Paling hanya diperintah melalui sekretarisnya.
"A—anda memanggil saya, Pak?" tanya Pak Sukardi dengan nada bergetar.
Rudi hanya mengangguk singkat. Orang itu memang sedikit bicara, tetapi aura yang ia timbulkan mampu mengintimidasi lingkungan sekitarnya. Ia juga mempunyai ekspresi wajah tenang hingga lawan bicaranya tak mampu menafsirkan apa yang ada dipikirannya.
"Kamu orang yang membantu puteri saya pindah tempat tinggal."
Ucapannya bukan seperti pertanyaan lebih tepatnya pernyataan. Dengan air muka takut Pak Sukardi mengangguk.
Jantung Pak Sukardi bertalu cepat karena Rudi tak jua melanjutkan ucapannya hanya terpaku pada lembaran kertas dihadapannya.
"Puteriku. Dia mengatakan padamu tujuannya pindah ke sana?" ucap Rudi akhirnya memecah keheningan.
"Ti—tidak Pak. Saya hanya berpikir mungkin Nona Zia lebih nyaman tinggal disana jadi saya menyetujui usulannya."
"Baiklah. Kamu boleh keluar."
Kelegaan membanjiri Pak Sukardi, ia menghela napas panjang lalu mengangguk sopan. Namun, baru dua langkah berbalik, Rudi kembali mengeluarkan suara.
"Dalam bekerja kepercayaan dari atasan itu sangat penting. Untuk orang yang sudah tujuh tahun bekerja denganku, kamu bisa dikategorikan sebagai karyawan yang loyal. Tapi ingat! hanya untuk perintahku. Bukan perintah dari yang lain."
"Ma—maafkan saya, Pak." Kata Pak Sukardi yang paham akan maksud yang diucapkan Rudi.
"Ini yang terakhir. Keluarlah!" ucap Rudi tanpa memandang Pak Sukardi.
Suara pintu tertutup menandakan Pak Sukardi telah keluar dari ruangan. Rudi mengambil ponselnya yang berdering dari saku jasnya. Seulas senyuman terbit di wajahnya, jarang sekali puterinya itu menelponnya duluan.
"Hallo."
"Um... hallo Pa..." terdengar suara gugup dari seberang. "Papa hari ini sibuk?"
"Papa selalu sibuk." Jawab Rudi.
"Um.. begitu ya. Eng... Sebenarnya ada yang mau Zia bicarakan sama Papa. Tapi kalau Papa sibuk.."
"Papa selalu sibuk tapi bukan berarti Papa tidak bisa meluangkan waktu Zia..." sela Rudi. "Apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Rudi bernada selidik.
"Um... Ya... Ada. Tapikan nggak lewat telepon Pa.."
"Ya udah. Sebentar lagi supir Papa jemput kamu. Papa lagi di kantor," kembali sela Rudi.
"Tapi belum jam istirahat Pa."
"Kamu nggak akan di pecat hanya karena ketemu sama Papa di bukan jam istirahat, Zia..."
"Oke lah. Ya udah Zia tunggu. Dah... Pa," terdengar suara begitu riang dari balik telepon. Rudi menjauhkan ponsel dari telinganya dengan tatapan gamang. Adam Hidayat, tebakannya puterinya akan membicarakan tentang pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sense
General FictionSinopsis : Zia memercayai satu hal, jika ia menemukan jodohnya maka jantungnya akan berdebar hebat. Begitupun saat pertama kali ia bertemu dengan Adam, yang meski dalam situasi tak mengenakkan Adam tetap membuat matanya berbinar. Jatuh bangun mendap...