Chapter 6 : A Shoulder To Cry On

52 11 6
                                    

Alec mengajak Mary ke kedai kopi yang berada tidak jauh dari komplek rumahnya. Mereka memilih tempat yang paling pojok dekat sebuah tanaman hias besar. Tempat yang tenang. Kebetulan pagi itu tidak begitu banyak pengunjung.

"Baiklah, kurasa disini sudah cukup tenang... sebenarnya ada apa Mary?" tanya Alec perlahan.

Mary terdiam dan sesunggukan. Ia tidak menjawab pertanyaan Alec sepatah katapun.

"Katakan saja... aku yakin setelah cerita pasti akan lebih baik."

Mary masih terdiam, tidak berubah. Alec menghela napasnya seraya memejamkan matanya sesaat.

"Kalau dipendam, nantinya akan semakin rumit... siapa tahu setelah cerita aku ada solusi untuk masalahmu... percayalah padaku."

Alec mencoba meyakinkan Mary yang masih terdiam.

"Alec..."

Alec menatap Mary yang hendak berbicara.

"Kamu tahukan dulu aku pernah cerita tentang ayahku."

"Semakin lama sifat ayahku semakin buruk. Kelakuannya tidak lebih baik daripada seorang penjudi dan pemabuk yang hanya memikirkan uang setiap harinya untuk diberikan pada wanita itu." jelas Mary yang terus menerus menangis.

Alec menunduk, lalu kembali menatap Mary.

"Ayahku kerap kali memukuli ibuku dulu. Aku kasihan pada ibuku, ia susah payah bekerja untuk menghidupi kami sekeluarga... tapi tetap dipukuli secara tak manusiawi seperti itu. Kini ibuku telah tiada, giliranku yang dipukulinya."

Alec terus mendengarkan curahan hati Mary. Setiap kali ada masalah, Mary memang selalu mencurahkan hatinya pada Alec. Sebab Alec adalah orang yang paling mengerti dirinya, selain ibunya.

"Kalau diingat kembali, ibuku juga meninggal karenanya. Dan semalam, tampaknya ayahku sudah benar-benar gila, ia memutuskan meninggalkanku sendiri."

Mary tampak geram sembari tersenyum sinis. Seolah ia sangat membenci dan dendam pada ayahnya. Tapi Alec tahu... Mary hanya terlalu hancur. Mary adalah sosok penyayang. Terutama pada keluarganya. Tidak mungkin ia membenci apalagi sampai dendam. Kini ia menunjukan ekspresi demikian, hanya untuk menutupi bahwa dirinya kini benar-benar rapuh.

"Ayahmu... pergi semalam?" tanya Alec dengan sangat hati-hati.

Lalu Mary mengangguk. Air mata terus berlinang membasahi pipinya. Hanya saja Mary tampak menahan tangisnya.

"Mungkin ia akan segera menikah dengan wanita jalang itu. Aku sedang menunggu undangannya." Mary kembali tersenyum sinis.

Alec menepuk bahunya pelan. Tepukan di bahu itu membuat Mary tidak bisa menahan tangisnya.

"Jangan ditahan Mary... menangislah... keluarkan semuanya, dan tersenyumlah dengan cerah di hari esok. Secerah matahari pagi."

Lalu di peluknya Mary ke dalam dekapannya. Mary menangis dalam pelukan Alec dan melingkarkan tangannya dipinggang Alec, mengeratkan pelukannya.

Setelah suasana hati Mary membaik. Mereka berdua kembali ke rumah Alec, sebab Mary memarkirkan mobilnya di luar rumah Alec. Mary membuka pintu mobil dengan Alec yang berada di sebelahnya.

"Alec maafkan aku, karena aku kamu jadi absen hari ini. Aku sungguh egois." ujar Mary.

"Itu tidak masalah.. selama aku bisa membantumu itu tidak masalah. Lagipula aku ikut atau tidak ikut sama saja, nilaiku tetap jelek juga." sahut Alec yang tersenyum kecut.

Mary tertawa kecil sembari menutup bibir kecilnya dengan tangan kanannya.

"Jangan begitu, aku tahu nilaimu selalu bagus. Dulu saja waktu sekolah kamu juara kelas terus. Bahkan di tingkat 11 kamu pernah jadi juara satu di sekolah dengan nilai terbaik diantara kelas lainnya. Akui saja."

Happiness For 10,000 Years [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang