Chapter 15 : Jealousy

24 8 4
                                    

"Sampai!" teriak Sylvia dengan cerianya.

Pintu mobil terbuka lebar, dan satu persatu keluar dari mobil dengan gembira. Sylvia dan Alec keluar dari mobil secara bersamaan. Sylvia menatap Alec yang tidak bersemangat. Alec tanpa sengaja melihat kearah Sylvia. Sylvia mengedipkan satu matanya ke Alec lalu tersenyum lebar dan menghampiri temannya yang lain.

Villa yang sangat besar milik Sylvia ini memiliki sepuluh kamar tidur dan enam kamar mandi. Halaman yang sangat luas, dan kolam renang di halaman belakang. Membuat decak kagum bagi teman-teman yang melihatnya.

...

Suara bising binatang malam mulai terdengar, seakan meramaikan acara BBQ malam ini. Alec menyusun setumpuk piring-piring di meja makan. Sylvia mengisi gelas kosong dengan sirup. Sedangkan Calvin sibuk membuat api unggun. Dan yang lainnya sibuk dengan tugasnya masing-masing.

Setelah selesai merapikan piring, Alec berniat membantu Mary yang sedang memanggang. Alec menghampiri Mary dan membantunya mengambilkan semangkuk daging.

"Terima kasih Alec."

Alec tersenyum kecil.

"Mary, sejak kapan kamu kenal Calvin?" tanya Alec lembut.

"Tahun lalu, di acara ulang tahun teman." jawab Mary dingin.

Alec menganggukan kepalanya. Tanpa sengaja Joe, teman Sylvia, menabrak Mary yang sedang memotong daging. Jari Mary terluka akibat tergores pisau.

"Ahh!!" pekik Mary.

"Maaf Mary!" Joe yang tengah mengejar Banny berhenti dan meminta maaf.

Semua yang ada disana kaget mendengar teriakan Mary. Alec panik melihat darah yang bercucuran, tanpa berpikir lagi, Alec langsung menghisap luka di jari Mary. Calvin, Sylvia dan semua yang ada disana melihat yang Alec lakukan. Sylvia sedikit kesal, namun juga diliputi rasa senang. Sedangkan Calvin cemburu, ia menghampiri Mary dan mendorong Alec. Calvin kemudian mengurusi luka Mary. Alec hanya diam menerima perlakuan Calvin. Alec melihat Calvin yang sangat perhatian Mary. Calvin kemudian membawa Mary masuk ke dalam villa. Sylvia menghampiri Alec, dan menepuk bahu Alec beberapa kali. Alec melihat Sylvia yang tersenyum kepadanya. Alec pergi meninggalkan Sylvia, sedangkan Sylvia hanya menghela napasnya.

...

Beberapa hari berlalu...

Begitu banyak kejadian yang terjadi di villa. Calvin yang terbakar api cemburu mulai menunjukan rasa tidak sukanya pada Alec. Mary terserang demam. Mary yang sedang menatap gunung yang tampak begitu dekat dengan villa menggigil kedinginan. Alec tidak tega melihatnya sepeti itu. Dilepasnya syal yang melingkar dilehernya dan di pakaikannya pada Mary. Mary terkejut akan kehadiran Alec.

"Ah!? Oh kamu Alec. Terima kasih."

Calvin yang tak sengaja lewat dan melihat Alec dan Mary di depan berdua langsung menghampiri mereka. Calvin langsung menarik lengan Mary, dan membawa Mary menjauh.

"Mary, bisakah kamu tidak terus berdekatan dengan Alec?!"

"Cukup Calvin! Jangan bersikap posesif begitu! Dia itu sahabatku sejak aku remaja. Aku tidak enak sama dia."

Alec melihat dari kejauhan. Calvin dan Mary sepertinya mereka bertengkar. Perasaan bersalah menyelimuti Alec. Lalu Calvin meninggalkan Mary yang menangis. Ingin sekali Alec menenangkan Mary, tapi bila Alec lakukan itu, mungkin akan semakin memperkeruh keadaan.

...

Malam hari, semua kembali berkumpul di belakang villa. Semua bersuka cita. Ada yang bercanda dan ada juga yang sedang tertawa. Ada yang berlarian. Hanya Mary yang terlihat murung. Alec melihat Mary sendirian disana memutuskan untuk berbicara dengannya.

"Mary, maafkan aku... karena kuberikan syal itu... semuanya jadi seperti ini."

"Itu tidak masalah Alec. Calvin saja, orangnya terlalu sensitif."

Alec semakin merasa dirinya sebagai penghancur hubungan Calvin dan Mary.

"Mary, Calvin kemana? Kok tidak kelihatan?" tanya Joe.

"Sudah pulang duluan Joe."

Alec baru sadar. Memang terakhir kali Calvin terlihat saat bertengkar dengan Mary. Ternyata saat Calvin meninggalkan Mary itu, Calvin memutuskan untuk pulang lebih dulu. Alec bingung harus berkata apa lagi, jadi ia hanya diam.

...

Di pagi hari yang mendung dan dingin. Sylvia membuka pintu kamarnya dan melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Ia keluar dari villa. Semuanya bersemangat mengawali hari. Tak lama kemudian ada yang menepuk bahu Sylvia dari belakang. Sylvia membalikan badannya, ternyata orang itu adalah Banny.

"Syl, Alec titip salam untukmu. Dia bilang harus pulang lebih dulu. Dan ini untukmu."

Banny menyerahkan sepucuk surat yang terlipat rapi. Memang sejak bangun tadi, Sylvia belum melihat Alec. Biasanya Alec bangun paling pagi dari yang lain. Sylvia membuka suratnya dan membaca isi surat itu.

"Sylvia... maaf...
Aku tidak bisa tinggal lebih lama...
Aku tahu itu tidak sopan, tapi ada urusan lain yang memaksaku untuk pulang lebih cepat.
Masalah Calvin dan Mary, aku tidak ingin membahasnya lagi.
Aku sudah merelakannya, aku tidak sanggup melihatnya menangis di depanku.
Karena aku, mereka bertengkar.
Jadi, kuharap kamu membiarkan mereka seperti seharusnya.
Aku akan baik-baik saja.
Terima kasih Sylvia..."

"Kapan perginya?"

Banny berpikir sesaat.

"Kurang lebih setengah enam pagi tadi."

Kenapa ia harus pulang sepagi itu?

...

Beberapa hari setelah liburan di villa...

...

Sebuah mobil berhenti di depan rumah yang sangat besar dan megah bagaikan istana. Sylvia turun dari mobil itu. Sylvia menekan bel rumah itu.

"Mencari siapa Nona?" tanya seorang petugas keamanan.

"Saya teman dari Calvin." jawab Sylvia.

Kemudian petugas itu masuk memberi tahu. Tak lama, petugas itu keluar dan mempersilahkan Sylvia masuk. Sylvia menunggu di ruang tamu rumah itu.

"Eh... Sylvia.. ada apa?"

Calvin menuruni tangga besar di ruang tamu.

Sylvia membuka kacamata hitamnya.

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu Cal."


Writer : Evelyn A Chandra

Happiness For 10,000 Years [√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang