Jilid 24 : Yan Loei, poocu Yan Kee-po tewas

2.6K 36 0
                                    

Dengan perasaan heran, ia masuk lebih jauh, ia melihat patung Sang Buddha tinggi enam kaki. ia kagum, di kamar barat ada delapan belas patung Lohan dengan roman yang berlainan masing-masing. Di pendopo itu ada dua orang pendeta dengan jubah abu-abu lagi bersila beribadat, mata mereka dipejamkan.
Dengan mata tajam, Tiong Hoa mengawasi kesekitarnya. ia tidak mengganggu kedua pendeta itu, Dengan berjalan mutar, ia pergi kependopo belakang, Disini ada sebuah lorong panjang dengan loteng batu marmer, batunya licin mengkilap dan dingin rasa nya waktu dirabah, ia bertindak terus sampai ia dipapaki seorang pendeta umur kira empat puluh tahun, jubahnya abu-abu juga.
"Sie-coe mau pergi kemana?" dia itu menyapa seraya memberi hormat.

Tiong Hoa melihat gerak-gerik orang gesit dan matanya bersinar, ia menduga pendeta ini mengerti silat baik sekali, ia membalas hormat sambil bersenyum.
"Aku mendengar kuil ini kesohor, maka itu aku datang untuk melihat-lihat," ia menjawab.
Pendeta itu tertawa.
"Pin-ceng dipanggil Go Tim," katanya, bersenyum, "Disini pinceng menjadi
tie-kek ceng. Kalau si-coe mau melihat-lihat, marilah silahkan siecoe minum teh dulu."
Tie-kek-ceng yalah pendeta yang bertugas menyambut dan melayani tetamu.
"Terima kasih," Tiong Hoa menampik. ia datang untuk melihat Lee Hoen, jadi tak ada niatnya memasang omong, Aku minta soehoe mengijinkan aku melihat-lihat saja.
"Inilah sulit," kata pendeta itu. "Kalau guru kami ketahui ini, pinceng bisa ditegur karenanya, Sie coe, silahkan"
Tiong Hoa tak dapat menolak lagi, ia mengangguk seraya mengucap terima kasih la minta si pendeta memimpinnya.

Go Tim menjura, terus ia jalan dicepan, Tiong Hoa mengikuti, matanya melihat ke-kiri dan kanan, untuk mendapatkan sesuatu yang mencurigakan Go Tim agak memaksa, ia curiga di sian pong, ruang kemana ia diundang itu, ada apa-apa. Atau ia telah dicurigai pendeta ini.
Latar dalam itu indah, Ada pohon-pohon bunganya yang harum, ada empangnya serta pohon yanglloeserta pohon pek. Didalam empangnya, ikan-ikan emas lagi berenang memain, Tapi tak ada kegembiraannya tetamu ini memandangi itu. Bahkan ia menyesal telah datang langsung.
"Tahu begini, lebih baik aku masuk secara menyelundup." pikirnya, sekarang terpaksa ia menahan sabar.
Tiba didalam sian pong, Go Tim mengundang tetamunya duduk. ia memerintah kan kacungnya menyajikan air teh, ia pun berlaku manis, sembari bersenyum ia me-nanya hal-ikhwal tetamunya itu.
"Aku asal Yan-khia," Tiong Hoa memberi-tahu. "Sebagai pelajar aku gemar akan keindahan alam, maka itu aku keluar pesiar. Disini ada sahabat ayahku, aku datang ke mari untuk menjenguknya."
Kemudian mereka bicara dari hal-hal lain-
Go Tim terpelajar, banyak pengetahuan nya tentang kitab-kitab Khong Coe dan lainnya. Tapi ia minta pelbagai keterangan- Syukur Tiong Hoa bukan pelajar gadungan, ia jadi dapat melayani dengan baik, bicara nya jelas dan lancar.
Pendeta itu kagum dan memuji, kelihatan dia girang. Toh agaknya dia masih mencurigai sesuatu, itulah sebab peristiwa hebat dijalan Inlam itu sedang kuil Cong Seng Sie ini mengandal gunung Tiam Chong, Warta rombongan Tay in San berada di Cong Seng Sie membuat kuil menjadi sasaran umum.

Begitulah, sebelum Tiong Hoa masuk ke-dalam pekarangan, telah ada pendeta yang melihatnya dan mengabarkannya kepada hong-thio, pendeta "kepala" dari kuil ini. Tiong Hoa tak tahu bahwa ia sudah lantas ada yang membayanginya.
"Sie-coe pandai sekali," kemudian kata lagi si pendeta, "Ada dibilang, ilmu surat bergandengan dengan ilmu silat, karenanya si-coe pasti mengetahui juga ilmu yang belakang ini."
Diam-diam Tiong Hoa mesti menyedot hawa dingin, Tak disangka ia bakal ditanya tentang ilmu silat, Syukur ia tabah, maka ia bisa berlaku tenang seperti biasa.
"Aku cuma anak sekolah yang lemah, mana aku mengerti ilmu silat?" katanya, tertawa, "Taysoe keliru melihat."
"Go Tim tertawa lebar. "Aku mengagumi kau, siecoe, karena kau pandai sekali membawa dirimu" katanya, "Kau bisa sekali menyembunyikan diri." Sembari berkata ia menolak tangannya lempang.

Tiong Hoa merasakan hawa meniup dada-nya. Masih ia berlaku tenang, ia bernapas seperti biasa, dadanya memain menolak angin itu. Tapi hebat bagi Go Tim, ketika tenaga serangannya itu kembali, dia terkejut hampir dia terjungkal dari kursinya.
"Ah taysoe, apakah artinya ini?" kata Tiong Hoa mendahului bicara, ilmu silat itu ilmu pembelaan diri, tak dapat itu dipakai memaksakan orang, apapula disini, sebuah tempat suci, Adakah ini biara mirip sarang penjahat dimana aku tak dapat menaruh kaki ?" Ia lantas berbangkit niatnya pergi berlalu. Tiba-tiba ada suara mendehem diambang-pintu.
"Sabar, siecoe, harap jangan gusar " begitu terdengar, "ingin loolap bicara untuk menjelaskannya."

Bujukan Gambar Lukisan - Wu Lin Qiao ZiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang