Vanessa mengetuk pintu kamar Zero berulang kali tetapi tidak mendapat jawaban dari si pemilik kamar. Ia pun memutuskan untuk mutar knop pintu yang ternyata tidak terkunci, hingga menampilkan kamar Zero yang berantakan. Persis seperti kapal sesudah di bom bardir oleh kapal lainnya.
Ia masuk kedalam dan mendapati Zero yang baru saja selesai mengenakan jaketnya. Sepertinya ia hendak pergi kesuatu tempat atau mungkin bertemu dengan seseorang.
"Lo mau kemana?" Tanya Vanessa.
"Kerumah teman."
Zero kembali menghadap kaca dan merapikan tampilannya. Sedangkan Vanessa sibuk mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kamar Zero. Matanya tak sengaja melihat sebuah frame foto yang berada diatas nakas. Vanessa pun mendekat dan mengambil frame foto tersebut.
Difoto itu terdapat dirinya, Zero dan juga-- adik kembarnya Vanilla, yang meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan.
"Gue kangen lo Nil." Lirih Vanessa tersenyum dengan mata berkaca-kaca. "Maafin gue karena gak bisa jagain lo. Yang ada gue nyelakain kembaran gue sendiri."
Mendengar Vanessa yang berbicara sendiri membuat Zero menghentikan apa yang sedang dilakukannya. Zero hanya bisa menghela nafas dan menyesali semua yang telah terjadi pada adik bungsunya.
"Kalau gue bisa memutar waktu, gue bakalan balik ke masa lalu dan memperbaiki semuanya."
Mendengar ucapan itu Vanessa menghentikan tangisan dalam diamnya. Ia mengusap sisa air mata yang menempel di pipinya dan menaruh kembali frame foto yang di pegangnya.
"Bukannya ini yang lo harapkan?" Vanessa berbicara dengan nada tajam.
Zero menoleh dan mendapati Vanessa menatapnya dengan tatapan yang tak bersahabat.
"Bukannya lo sendiri yang bilang, lo gak akan pernah nyesal kalau Vanilla pergi dari keluarga ini? Lo juga bilang kalau lo sama sekali gak perduli sama dia. Jadi ini kan yang lo mau?"
Zero terdiam. Ingatannya melayang ke masa lalu ketika ia mengatakan pada Vanessa bahwa dirinya ingin Vanilla pergi agar keluarganya tidak lagi terusik akan kehadiran Vanilla.
Tetapi yang tak pernah ia bayangkan adalah, Tuhan mengabulkan perkataannya. Dan sekarang ia menyesal karena telah berucap seperti itu.
"Gak ada kesempatan kedua lagi buat kita. Vanilla bukan sekedar pergi untuk sementara, tapi untuk selama-lamanya. Dan apa yang dia tinggalkan untuk kita semua?"
Zero tetap tak menjawab.
"Penyesalan."
Vanessa langsung berlalu keluar dari kamar Zero dengan menutup pintu dengan cara dibanting. Apa yang bisa dilakukan Zero selain menghela nafas? Dan-- Menyesal tentunya.
Dering ponsel yang berada didalam saku jaketnya menyadarkan Zero bahwa ia harus pergi sekarang juga. Ia pun mengambil kunci mobilnya dan bergegas menuju garasi rumahnya.
Beberapa puluh menit kemudian, mobilnya telah tiba didepan sebuah rumah bertingkat yang sedari awal menjadi tempat tujuannya. Setelah dibukakan gerbang oleh penjaga rumah tersebut, Zero kembali melajukan mobilnya memasuki pekarangan.
Kini mobilnya telah terparkir sempurna. Ia pun turun dan mengabari temannya bahwa ia telah tiba. Tak lama, pintu rumah itu terbuka dan menampilkan seorang pria sebayanya yang sedang tersenyum kearahnya.
"Long time no see you buddy." Sapa orang itu memeluk Zero.
"Kapan lo sampai?"
"A couple days ago." Jawab temannya itu. "Come."
KAMU SEDANG MEMBACA
If You Know Who [TELAH DITERBITKAN]
Jugendliteratur[Tersedia di toko buku seluruh Indonesia] Saquel of If You Know Why Deja vu Mungkin itu pilihan kata yang tepat jika aku bertemu dengan pria bermata hazel dengan wajahnya yang sedingin es. Bagaimana tidak? Setiap apa yang dilakukannya selalu membuat...