Mohon maaf bila banyak typo yang bertebaran, karena ngentiknya kilat dan gak di edit.
*****
Vennelica masuk ke dalam kamarnya dan langsung menutupnya rapat-rapat. Ia menyandarkan punggungnya di belakang pintu sembari mengigit bibir agar jeritannya tertahan. Ucapan Dava masih terngiang jelas di telinga dan fikirannya. Bahkan ia mengingat dengan jelas bagaimana cara Dava menatapnya begitu dalam, seolah dirinya berhasil membuat Dava kembali mengenal kata cinta setelah Vanilla meninggal dunia.
Vennelica mengusap kasar wajahnya. "Gak! Gak! Gue gak boleh baper. Dava gak mungkin beneran jatuh cinta sama gue. Mungkin tadi dia gak sadar karena dia kangen sama Vanilla. Kan teman-temannya bilang, muka gue sama Vanilla itu hampir mirip." Ucapnya meyakinkan dirinya sendiri untuk tidak berharap lebih.
"Tapi tetap aja gue melting anjir!"
Vennelica melempar tubuhnya keatas kasur dan bergerak kesana kemari seperti cacing kepanasan. Ia berusaha menghilangkan Dava dari fikirannya. Tetapi semakin kuat ia ingin menghilangkan, maka semakin jelas terbayang di ingatannya.
Tiba-tiba saja Vennelica kembali mengubah posisinya menjadi duduk. "Gak! Pokoknya gue gak boleh baper. Harusnya ini menjadi pertanda baik, karena itu artinya perjanjian gue sama Vino membuahkan hasil. Dan gue bakalan segera tahu siapa gue sebenarnya dan apa yang di sembunyiin keluarga gue selama gue hilang ingatan."
Pandangannya tertuju kearah meja belajar, dan ia teringat akan buku harian Vanilla yang belum selesai di bacanya. Ia pun mengambil buku tersebut dan meneruskan bacaan terakhirnya.
Rasanya ada yang aneh setiap kali ia membaca buku harian tersebut. Ia merasa seolah dirinya terjun kedalam sana. Ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang menuliskan kisah kehidupannya di atas buku yang sedang dibacanya saat ini.
Halaman demi halaman Vennelica baca, dan kini tanpa ia sadari, dirinya sudah berlinang airmata. Dadanya terasa sesak sampai-sampai ia sulit bernafas. Bahkan ia harus berulang kali membuang ingus yang menyumbat saluran pernafasannya.
"Gue ngerasa habis nonton korea yang endingnya menyedihkan banget," ujarnya dengan suara parau.
Ia kembali menarik nafasnya dalam-dalam dan berusaha melancarkan kembali pernafasannya.
"Kalau gue jadi Vanilla, pasti gue udah bunuh diri. Mana sanggup gue hidup kayak gitu. Udah punya masalah sama keluarga, kena kepribadian ganda, PTSD, sakit ginjal, berurusan sama psikopat pula. Poor Vanilla!"
"Tapi gue salut sih sama dia. Zaman sekarang mana ada cewek kayak dia yang mau berkorban demi orang lain. Dan kayaknya kalau gue ketemu sama Dava, gue harus ceramahin dia deh, karena dia udah nyia-nyiain Vanilla gitu aja." Ocehnya tanpa henti. "Eh tapi.. Dava kan juga gak sepenuhnya salah. Kalau bukan karena di ancam sama psikopat gila itu, pasti dia juga gak bakalan campakin Vanilla dan balik ke Britney Britney itu."
Vennelica tak henti-hentinya mengoceh sampai mulutnya menguap berulang kali dan matanya mulai sayu. Sekilas ia melirik jam yang menempel di dinding, namun ia tidak bisa melihat jelas jarum jam tersebut. Ia pun memutuskan untuk memperbaiki posisinya, manaruh buku harian Vanilla di atas nakas, dan menarik selimut hingga batas lehernya. Tak lama kemudian, ia pun terlelap.
Persis setelah Vennelica tertidur pulas, Ziko masuk ke dalam kamar Vennelica. Sebenarnya, Ziko menguping ocehan Vennelica. Bukan karena di sengaja, melainkan ketika ia pulang dan hendak kembali ke kamarnya, ia tak sengaja mendengar teriakan Vennelica dari dalam kamar. Tetapi ketika ia hendak membuka pintu kamar Vennelica untuk memastikan, ia mendengar Vennelica berbicara sendiri. karena itu ia memutuskan untuk berdiam diri di depan kamar Vennelica dan mendengarkan apa saja yang Vennelica ucapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
If You Know Who [TELAH DITERBITKAN]
Teen Fiction[Tersedia di toko buku seluruh Indonesia] Saquel of If You Know Why Deja vu Mungkin itu pilihan kata yang tepat jika aku bertemu dengan pria bermata hazel dengan wajahnya yang sedingin es. Bagaimana tidak? Setiap apa yang dilakukannya selalu membuat...