***
Hari ini, seluruh peserta fotografi akan mengadakan jadwal hunting foto di sebuah kota yang mendapati julukkan "Kota Kembang" Bandung. Selama dua hari.
Tak terkecuali Sydney.
Gadis itu sudah siap dengan tas ranselnya, jaket parka, sepatu boots, dan kamera poketnya.
"Yeay. Bandung," teriaknya ke arah Shabian yang masih sibuk mengotak-atik kamera miliknya.
"Shabian, Bandung," teriaknya lagi.
"Hmmm..."
"Berarti bakal banyak spot foto bagus di Bandung."
"Hmmm..."
Merasa tak diperdulikan, Sydney menoyor kepala Shabian pelan.
"Ih, dengerin gak sih?"
Shabian menoleh dengan hembusan nafas. "Iya, Sydney."
"Nah, gitu dong."
Sydney duduk di bangku kosong sebelah Shabian. Lalu, mengeluarkan sekotak makanan dari dalam ranselnya.
"Mau?"
Sydney menyodorkan sekotak makanan berisikan kulit ayam goreng kesukannya. Dan, melahapnya untuk mengganjal perutnya yang lapar akibat tidak sarapan. Yang langsung dibalas gelengan kepala Shabian.
-
"Wow, Bandung..." ujar Sydney seraya merentangkan kedua tangannya, menikmati hembusan angin yang benar-benar sejuk.
Cekrek.
Bunyi kamera membuyarkannya.
"Ih, ngapain lo moto gue?" cetusnya pada Shabian yang berada di depannya saat ini.
"Gue Cuma ngambil foto sepatu lo. Bukan elo."
Sydney menoleh ke bawah. "Kok sepatu doang? Orangnya kali, Shab."
Tak memperdulikan, Shabian pun berlalu.
Pantang menyerah, Sydney berlari mengejar.
"Shab..."
Shabian menoleh.
"Fotoin gue dong. Disini tempat fotonya bagus-bagus. Please," ucapnya seraya sedikit memohon.
Tidak ingin merasa bersalah jika sampai Sydney merengek didepannya, akhirnya ia menganggukkan kepalanya.
"Yeay."
Shabian dengan sabar mengikuti kemana langkah Sydney berjalan. Disetiap ada sudut yang bagus, Sydney berhenti. Shabian memotonya.
Cekrek.
Gaya Sydney di depan kamera terlihat begitu luwes. Dari mulai ia tertawa, jutek, memasang wajah staycool, sampai berbagai macam gaya candidnya.
Setiap senyumnya, memang mempesona.
"Ah, capek, Shab." Sydney menghentikan langkahnya, tak sanggup lagi berjalan.
"Yaudah istirahat."
Keduanya berhenti pada sebuah batu dekat lapangan ilalang. Sydney yang baru sadar betapa indahnya ilalang yang tergambar didepan matanya, langsung berdiri. Bersiap untuk berlari.
Tapi, Shabian menahan tangannya.
"Duduk dulu. Capek 'kan?"
Merasa canggung, Sydney langsung mengangguk.
"Nih." Shabian menyodorkan sebotol air mineral pada Sydney.
"Makasih."
Hari sudah mulai sore. Kabut sudah mulai turun.
"Shab, laper."
Shabian memasukkan kameranya ke dalam ransel. "Yaudah, makan."
-
Malam menjelang, suasana dingin Bandung semakin menusuk.
"Brrr..." Sydney mengerang kedinginan.
"Gak bawa jaket?" tanya Shabian.
Sydney menggelengkan kepala.
Membuat Shabian reflex melepas jaket miliknya dan memberinya pada Sydney.
"Nih, pake."
Sydney tercengang.
"Udah gak usah kebanyakan bengong. Di rumah gue, anak cicak mati karena kebanyakan bengong."
Sydney tersenyum simpul mendengar lelucon receh Shabian.
Melihat perhatian dan sikap Shabian yang begitu care padanya. Terbesit perasaan bersalah di hati Sydney.
Merasa bersalah jika ia benar-benar berhasil memenangkan dare-nya. Shabian akan menjadi salah satu orang yang terluka karena keisengan konyolnya.
"Btw, lo stalking gue ya sampe bisa tau username Instagram gue?" ledek Sydney.
Shabian menoleh,"Lah, kan lo duluan yang follow gue."
"Ha?"
Shabian memperlihatkan notifikasi saat Sydney memfollownya. Sydney terkejut.
"Kapan gue follow?" tanya heran.
Shabian memasukkan kembali ponselnya.
"Kayaknya gue gak pernah follow lo deh," celetuk Sydney.
Shabian hanya menanggapinya dengan biasa. "Iya, setan kali yang main instagram lo."
Shabian menyalakan lilin untuk membuat tubuh mereka tetap hangat. Sydney hanya diam, mengamatinya.
Lalu,tersenyum. Tanpa alasan.