***
Shabian menggandeng tangan Sydney berjalan menuju lorong rumah sakit.
Sydney menautkan kedua alisnya sepanjang perjalanan. Ia merasa bingung. Kenapa Shabian harus mengajaknya ke tempat seperti ini.
Apa mungkin Shabian sakit? Terus dia minta temenin gue berobat, biar kayak difilm-film. Ih, so sweet. Batinnya.
Langkah keduanya terhenti tepat di depan kamar 301.
Shabian menoleh ke arah Sydney dan berkata,"Lo gak jantungan 'kan?"
Sydney sedikit tertawa kecil. Kadang, laki-laki dingin seperti Shabian memang menggemaskan kalau sedang seperti ini.
Sydney menggeleng.
Lalu, Shabian membuka knop pintu kamar dan mengajak Sydney untuk masuk.
Seketika, senyum di gadis itu memudar kala ia harus mendapati siapa yang sedang terbaring lemah tak berdaya di ruangan itu.
"Alfa?"
Tanpa berfikir lagi, Sydney berlari. Mendekat ke arah Alfa yang melihatnya tanpa gairah.
"Alfa. Lo..." Sydney mematung. Ia tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Ia bahkan tak mengerti kenapa Alfa ada disini, dan Shabian yang mengantarkannya.
"Duduk dulu." Shabian menuntun Sydney untuk duduk di sofa sebelah Alfa terbaring.
Gadis itu terus memandang Alfa dengan deraian airmatanya.
"Syd."
"Kenapa lo gak bilang kalo Alfa di Rumah Sakit? Siapa sebenernya lo?" teriak Sydney.
"Syd, dengerin Shabian dulu," ujar Alfa.
Sydney mulai mengatur ritme nafasnya yang terengah-engah.
"Sebelumnya, gue mau jujur soal gue siapa." Shabian melirik ke arah Alfa, meminta izin untuk bicara, dan Alfa mengiyakan.
"Gue dan Alfa adalah sahabat. Dari dulu, gue selalu ngawasin lo. Apapun yang lo lakuin di kampus. Alfa nyuruh gue buat selalu ngejagain lo. Awalnya berat, tapi dia cerita soal hidupnya yang tinggal bergantung sama obat-obatan dan dokter. Dan, dia harus tetap ngejagain lo."
"..."
"Selama ini, dia gak pernah bilang ke lo karena dia gak mau bikin lo khawatir."
Airmata Sydney mengalir semakin deras. Tanpa bisa ia bendung lagi.
"Lo pernah bilang, kalo Alfa gak pernah mengenal cinta."
"..."
"Tanpa lo sadari, dia udah ngasih lo banyak cinta."
Tangisan gadis itu semakin menyeruak, mengisi setiap sudut ruangan.
"Syd, ada satu lagi yang harus lo tau."
Ucapan Shabian harus terhenti kala mesin pendeteksi detak jantung milik Alfa berdenyit panjang dan nyaring.
Sydney sontak menghampiri tubuh Alfa yang tidak bernafas lagi. Gadis itu histeris. Seakan tak percaya dengan apa yang barusan terjadi.
Ia baru saja kehilangan sosok orang yang begitu ia sayang, lagi.
Ia baru saya kehilangan orang yang selalu melindunginya selama ini.
Ia baru saja kehilangan orang yang selalu menjadi tempat curahan hatinya selama ini.
Langit yang cerah, berubah menjadi mendung. Seakan ikut merasakan kesedihan yang Sydney rasakan saat ini.
Shabian memeluk tubuh anak gadis itu. Membiarkannya terus menangis dan berteriak dalam pelukkannya.
Diantara semua perasaan emosinya yang tengah bergejolak, Shabian harus berusaha untuk tetap tenang. Meski, ia ingin memberontak akan apa yang baru saja terjadi.
Kehilangan sosok sahabat yang begitu dengan memanglah menyakitkan. Seperti itulah Shabian sekarang.
Ia hanya dapat menatap wajah Alfa yang perlahan mulai tertutup kain.