13. Perfect Imam-Penjelasan

1.1K 88 4
                                    

Fadil memejamkan matanya mencoba rilex dengan situasi seperti ini. Mencoba mengumpulkan harus dari mana ia menjelaskan semuanya.

"Kamu emang gak bisa jelasin 'kan?" Nayla kembali menyeka air matanya yang terus menerus keluar.

"Selagi aku ngomong. Aku mohon kamu jangan memotongnya. Kamu boleh bertanya jika ada yang tidak jelas." Fadil mencoba tenang dan tidak terbawa situasi.

"Oke."

Fadil menghirup oksigen sebanyak mungkin. "Dia adalah Ardina Molentarina. Kekasihku saat aku masih berkuliah di USA, aku terpaksa. Aku tau kamu bakalan kaget, tapi ini nyatanya. Terus kenapa aku mau? Karena kata orangtua Dina, Dina mengidap tumor otak, dan sisa umurnya gak bakalan lama. Sementara Dina sering memerhatikan aku selama disana, dia menyukaiku, dia cinta sama aku, aku terpaksa berpacaran dengannya karena saat itu orangtua Dina menjelaskan semuanya kepadaku. Mereka memohon kepadaku, aku bisa apa Nay waktu itu? Pacaran 'kan haram, dan aku menyebut berpacaran dengan Dina ini sebagai rasa kasihan atau menolong Dina agar bahagia sebelum waktunya. Dan aku semakin bingung bahwa Dina berasal dari Jerman, sama sepertiku yang berasal dari Indonesia berkelana sekolah ke USA. Lagipula aku dan Dina berbeda keyakinan. Juga, kalau Dina telah kembali kepada-Nya, aku tidak akan terjerat dalam situasi seperti ini 'kan?"

Nayla meresapi ucapan Fadil, hatinya begitu sakit, tak pernah kah kali ini saja Fadil mengerti bahwa hatinya sangat sakit? Bahwa hati istrinya ini sangat sakit.

"Aku hanya ingin bahagia. Sekarang mendingan kamu pulang ke rumah yang di hadiahkan Oppa. Biar aku disini, biar aku disini mengobati hati yang telah kamu pahat tanpa henti." Nayla mengerang, tangisnya begitu pecah.

Fadil menyeka air matanya yang sedikit keluar. Lalu dengan cepat ia memeluk Naylanya, Nayla istrinya. "Maafin aku, aku khilaf saat itu. Aku janji, setelah semua ini berakhir aku ak---"

"Berarti aku juga khilaf telah mencintai kamu." Sela Nayla.

Fadil tertohok mendengar itu dan merasakan hatinya bagai dibubuhi milyaran godam. Naylanya, istrinya, sudah mencintainya.

"Kamu mencintaiku?"

Nayla mengangguk, bahkan sekarang tangannya memegang erat tangan Fadil. Nayla merasa nyaman sekarang. Seperti mendapat perlindungan yang tanpa henti.

Suara ponsel Fadil terdengar, dan dari nomor yang tidak terdaftar. Dengan cepat Fadil mengangkatnya.

Nayla hanya bisa menahan tangisnya maksudnya agar tangisnya tidak terdengar oleh si pelepon.

"Dina masuk rumah sakit." Lirih Fadil, setelah menutup telefonnya.

Nayla menatap Fadil dalam diam, Nayla melihat Fadil dilanda rasa bimbang.

"Nay, aku boleh kesana?" Tanya Fadil.

"Boleh. Asal aku ikut, dan perkenalkan aku sebagai istrimu disana." Nayla.

Fadil terdiam lagi. "Ini darurat, aku gak bisa Nay."

"Terserah kamu. Aku cape. Kalau aku bisa milih, aku lebih baik diam di Indonesia sama Mamah dan Papah."

"Nay aku mohon ngertiin." Fadil.

"Aku mau kembali ke Indonesia, dan meneruskan hidupku disana, boleh? Kamu boleh kesana pergi, aku ngertiin. Dan sekarang aku mau pergi ke Indonesia, kamu ngertiin." Nayla, mengambil koper besar yang berada dipinggir lemari, lalu mulai memasuki bajunya, satu persatu.

"Nayla aku mohon jangan kekanakan. Ngertiin kali ini aja."

"Aku emang masih anak-anak. Terserah kamu mau ngomong apa aja."

Perfect ImamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang