#1 - Awal dari segalanya

15.7K 1K 43
                                    

Tahun 1107* saka, Bumi Kadiri

Bagi lelaki itu, takdir hanyalah sebuah pertaruhan konyol. Sebab pada akhirnya, segigih apapun ia mencoba, ia tetap tak mampu menyelamatkan seseorang yang amat ia cintai dari fitnah keji. Di atas tanah berbatu, ia terlentang. Darah dari luka-luka menganga dan keringat membanjiri sekujur badan. Ditatapnya langit malam tanpa bintang. Ah, hari ini pun purnama masih bersinar begitu cantik meski sendirian. Ia bersyukur masih ada lautan yang tetap setia menjaga senyum sang purnama. Dia jadi membayangkan purnama lain yang kini tengah bertafakur di istana seorang diri sambil menunggu ke mana kisah hidupnya akan bermuara. 

Senyum sedih perlahan terkembang di wajahnya, tak peduli meski sebilah pedang kini teracung tepat di leher beserta seorang bretya* yang bernafsu untuk segera memisahkan kepala dengan badannya.

"Aku tak mengerti bagaimana kau bisa tersenyum sedangkan nyawamu sudah berada di ujung tanduk," ucap bretya itu dari balik topeng kayu yang menyembunyikan raut wajahnya.

Senyum si lelaki tergantikan dengan tawa lirih, sekali ia terbatuk lalu memuntahkan darah. Demi seluruh ilmu yang pernah dicecapnya, tak perlu membuka topeng kayu yang dikenakan bretya itu, karena sesungguhnya, ia tahu betul wajah yang tersembunyi di baliknya. "Dosa apa yang telah ayahmu lakukan sehingga kau berbalik menjadi hamba raja busuk itu, Nak?"

Ujung pedang tampak sedikit bergetar. Pegangan si bretya pada pedang menguat. "Pikirkan saja nasibmu sendiri, wahai pengkhianat."

Si lelaki mendengus. "Tanyakan pada dirimu sendiri, apakah ucapan tadi benar-benar keluar dari lubuk hatimu ataukah warta yang kau sadur dari orang yang mengirimmu untuk membunuhku?"

Bretya itu terdiam.

Tangan si lelaki meraih ujung pedang lalu meremasnya kuat. "Nah, sekarang, cepat ambil nyawaku agar ayahmu dapat dibebaskan dengan segera." Darah dari tangannya mengalir laksana aliran sungai. "Tapi, sebelum kau berhasil memutuskan leherku, aku punya satu permintaan terakhir."

Si bretya terdiam cukup lama sebelum akhirnya ia kembali bersuara. "Apa permintaan terakhirmu itu?"

Pandangan si lelaki kembali terarah purnama yang menggantung di langit. "Sampaikan pesanku kepada paramesywari Daha* bahwa aku akan selalu berada di sini. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku adalah lautan yang akan selalu memeluk purnama jika ia sendirian. Datanglah kepadaku jika ia membutuhkan sandaran." Ia tersenyum penuh kesungguhan. Bahkan ketika bretya itu menancapkan pedang ke jantungnya, senyumannya tak pernah pudar.

Seakan-akan berduka atas kematian si lelaki, purnama yang seharusnya bersinar menyinari semesta kini seolah menutup mata, diiringi oleh rintik hujan yang jatuh ke bumi. Angin pun berembus kencang pertanda badai akan segera datang.

Pedang kemudian dicabut. Jejak darah tercipta sepanjang jalan ketika bretya itu menyeret tubuh tak bernyawa si lelaki menaiki bukit berbatu. Sesampainya di atas, dari tempatnya berdiri ia dapat menyaksikan betapa ganasnya ombak di bawah sana, menggulung-gulung bagai tangan-tangan raksasa besar yang akan meremukkan apapun yang mencoba mengusik.

Sang bretya menarik napas lalu mendorong jatuh tubuh tak bernyawa si lelaki bagai bangkai. Bunyi deburan ombak yang pecah menghantam karang menggema, seolah-olah menjadi penutup kisah hidup seorang Pujangga kepercayaan Maharaja yang berakhir menjadi seorang pengkhianat.

.

.

.

Di tempat yang sama, ribuan purnama berikutnya ...

Vivi dulu percaya bahwa kematian seharusnya menjadi adegan paling dramatis di ujung babak drama hidupnya. Dengan diiring isak tangis serta doa orang-orang terkasih, ia akan tersenyum damai dalam pembaringan. Namun, gadis itu mendengus geli saat membayangkan hal-hal semacam itu mustahil terjadi. Sambil menaiki pagar pembatas, ia membayangkan jika ibu dan ayahnya yang telah pergi ke alam baka mungkin akan menangis pilu. Persetan. Siapa suruh mereka meninggalkannya lebih dulu?

Diterpa dinginnya angin laut, membuat seluruh badannya menggigil. Telapak kaki telanjangnya terasa geli saat ujung rumput yang menjuntai sampai ke tepian bukit membelai lembut.

Ah, kalau dipikir-pikir lagi, ini adalah saat yang tepat untuk melakukan kilas balik dan mengingat-ingat apa saja yang telah ia lakukan selama hidup. Delapan belas tahun lalu ia dilahirkan sebagai keluarga berada. Menghabiskan masa balita dan remaja dalam kemewahan. Namun, semua berubah seperti plot twist sialan selama dua tahun belakangan.

Potongan-potongan rekaman memori perjalanan hidupnya terputar di depan mata seperti kaset rusak. Sekali muncul ingatan tentang pesta ulang tahunnya yang keenam, pertunjukan balet yang pernah ia ikuti, kemudian pertengkaran intern keluarga yang lebih mirip opera sabun murahan.

Ia jadi ingin tertawa sekaligus menangis. Kenapa jalan hidupnya sama sekali tidak keren? Seharusnya, pemeran utama seperti dirinya bisa mendapatkan pertolongan dengan mudah, seperti Cinderella yang kedatangan ibu peri atau mungkin seperti Harry Potter yang tiba-tiba dapat surat undangan masuk Hogwarts. Sayangnya, ia sadar kalau hidupnya ini bukanlah sebuah film. Bahkan, kalau dijadikan film pun ia ragu ada yang mau menonton.

Vivi menarik napas panjang dan memandang ke bawah. Sejujurnya, terbit sebersit perasaan ngeri ketika suara deburan ombak pecah membentur dinding bukit. Ia jadi membayangkan betapa menyakitkannya saat badannya tergulung ombak ganas, lalu tulang-belulangnya remuk setelah menghantam karang. Ia pasti akan langsung hancur sebelum sampai dasar.

Untuk terakhir kali, hati kecilnya berteriak memerintahkan dirinya untuk menghentikan tindakan konyolnya ini. Akan tetapi ia tak berbalik. Ia sudah memantapkan hati untuk menutup jalan cerita hidupnya yang menggelikan hari ini.

Rambut hitam panjangnya yang berterbangan terbawa angin, ia sematkan sebagian di belakang telinga. Ia pun menekuk lutut, siap melompat. Dengan mata yang terpejam erat, ia menghitung dalam hati. Satu. Dua. Tiga. Selamat tinggal semuanya.

"Hei, jangan lompat!"

====

Catatan kaki:

1. Untuk memasehikannya ditambah dengan 78

2. Bretya = Prajurit bayaran

3. Daha = Ibukota kerajaan Panjalu/Kediri

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang