Chap 5

1K 432 80
                                    

Hari minggu akhirnya tiba. Biasanya, di jam-jam seperti ini Kinan akan mendekam di kamar dan berkutat dengan buku-buku tebal miliknya. Entah apa yang sedang ia pelajari. Sepertinya ia tidak pernah kehabisan materi untuk difahami. Tapi, untuk minggu kali ini berbeda. Kinan tengah berdiri di dapur sambil melihat mamanya memixer adonan. Lima belas menit yang lalu, ia yang berada di posisi mamanya itu. Karena miliknya sudah dimasukkan ke dalam oven, jadi giliran mamanya yang membuat kue.

Sebenarnya, ini juga bukan kemauan Kinan. Tadi ia sudah asik berkutat dengan dunianya. Hingga tiba-tiba sang mama masuk ke dalam kamar lalu menarik dirinya ke dapur. Alasan mamanya simpel, "pinter boleh. Tapi hal utama yang harus seorang wanita ketahui itu soal dapur."

Kinan sendiri juga sebenarnya bukan tipe gadis yang anti dapur. Ia bisa memasak. Hanya saja, ia terlalu malas untuk bangun dari kursi belajarnya dan pindah ke dapur. Masih banyak rumus-rumus baru yang belum ia ketahui. Toh, nanti juga ada waktunya dimana dia harus masak sendiri dan menurut Kinan, ketika saat itu tiba dia pasti bisa-bisa sendiri memasak.

"Sudah selesai, kan, Ma? Adek boleh balik ke kamar?" Mama Kinan yang tengah mencuci wadah-wadah yang kotor menatap Kinan yang baru saja mengeluarkan kue buatan Kinan sendiri yang sudah matang dari oven.
"Kamu mau ngapain, sih, di kamar? Udah di sini aja! Lagian udah jam sepuluh juga, jam sebelas nanti bantuin mama masak buat makan siang," jawab mama Kinan.

"Oh, ayolah, Ma. Adek mau belajar. Masih banyak rumus-rumus dan materi-materi yang harus adek pelajari," keluh Kinan sambil mencopot sarung tangan anti panasnya.

"Rumus-rumus apa? Rumus itu nanti juga bakalan kamu pelajari di kelas dua belas, lagian kamu sekarang juga masih kelas sebelas. Ngapain repot-repot, sih?" Sebenarnya mama Kinan tidak melarang anak-anaknya untuk belajar. Ia bangga tentu saja memiliki anak-anak yang pintar. Hanya saja, Kinan sudah berlebihan. Mama Kinan hanya tidak mau anaknya itu terus-terusan berada di dalam kamar, apalagi menjadi pribadi yang individual.

"Dek, adek!" Kinan dan mamanya melihat ke arah Kevan, kakak Kinan, yang masuk ke dalam dapur dengan meneriaki nama Kinan.

"Ada apa, bang?" Itu bukan Kinan yang bertanya, tapi mamanya.

"Itu ada temen adek di ruang tamu," jawab Kevan sambil tersenyum jahil ke arah Kinan.

Kinan mengerutkan dahi bingung. Temannya? Siapa? Kalau Vero atau teman-temannya dari sekolah lama pasti akan mengabarinya, minimal menelfon Kinan atau mengiriminya sms sebelum pergi ke rumah Kinan. Tapi, tidak ada satupun dari mereka yang memberi tahu Kinan. Ia memegang saku piyamanya. Ponselnya ada di sana. Tidak ada bunyi, atau getaran. Lalu siapa?

"Oh, ya, ma. Adek udah main pacar-pacaran loh." Kinan dan mamanya melihat Kevan dengan dahi berkerut.

"Kamu tau darimana, bang?" Tanya mama Kinan.

"Itu buktinya yang dateng cowok, biasanyakan Vero atau nggak temen-temennya dulu yang dateng. Lah, ini cowok. Siapa lagi coba kalau bukan pacarnya adek. Lagian nih, ma, ya. Kakak sering lihat adek pas pulang di anterin cowok. Cowok yang di depan itu yang nganterin Kinan." Mata Kinan hampir saja keluar ketika mendengar penuturan kakaknya. Jangan-jangan?

Ia langsung berlari ke ruang tamu memastikan apa benar orang itu yang dimaksud abangnya. Saking penasarannya, Kinan lupa dengan penampilannya saat ini.

Di sana, seorang pemuda terlihat santai namun terkesan cool sedang duduk di sofa ruang tamu rumah Kinan. Karena asik dengan ponselnya, pemuda itu sama sekali tidak menyadari kehadiran Kinan. "Kak Arland?"

Arland menoleh mendapati Kinan berdiri di sebelah sofa depannya. Tapi, penampilan Kinan saat ini benar-benar ingin membuatnya tertawa. Bukannya ia ingin menertawakan Kinan karena jelek atau apa. Malah Kinan terlihat sangat lucu saat ini. Piyama bermotif Patrick, apron bunga-bunga, rambut sedikit berantakan, dan wajah yang dipenuhi coretan tepung. Serta wajah polos Kinan yang masih terlihat terkejut dan tidak percaya.

Enough [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang