Chap 10

828 248 20
                                    

Kinan sudah siap. Ia melihat sekali lagi tampilannya di depan cermin. Hari ini ia dan Arland berencana untuk mengunjungi beberapa situs pariwisata di Jakarta. Sebenarnya, hanya Arland yang berencana. Sementara Kinan seperti biasa memilih untuk belajar. Tapi, gara-gara Kevan, papa, bahkan mama Kinan yang memaksanya untuk menerima ajakan Arland, terpaksa Kinan mengiyakan mau Arland. Apalagi saat ini hari sudah malam. Entah, Arland akan membawa Kinan kemana.

"Dek, lo lama banget, sih? Ini Arland udah nungguin lo daritadi." Kinan memutar bola matanya bosan mendengar teriakan Kevan. Sebenarnya yang mau jalan itu dia atau abangnya, sih? Kenapa jadi Kevan yang ribet? Kinan turun ke ruang tamu dan mendapati orangtuanya, Kevan, dan Arland sedang mengobrol. Kinan duduk di lengan sofa sebelah papanya, semua orang menyadari kehadiran Kinan dan menoleh ke arahnya.

"Ini dia orangnya. Lama banget sih, lo? Ngapain aja coba di atas?" Lagi-lagi Kinan hanya bisa memutar bola matanya tanpa menjawab pertanyaan kakaknya. Arland terkekeh lalu menatap Kinan. Arland mengedikkan alisnya lalu Kinan mengangguk.

"Ma, pa, Kinan sama kak Arland berangkat dulu, ya?" Pamit Kinan. Mama dan papa Kinan mengangguk. Kinan dan Arland mencium tangan kedua orangtua Kinan. Kevan dengan PDnya menyodorkan tangannya di hadapan Kinan yang hanya dilalui Kinan begitu saja. Kevan cengo melihat apa yang dilakukan adiknya barusan, sementara Arland dan papa Kinan terkekeh melihat kelakuan dua orang tua itu. Arland akhirnya menyalami Kevan ala pria sebelum akhirnya keluar dari rumah Kinan.

Kinan sudah berdiri di samping mobilnya dan menatap mobil itu dengan bingung. "Mobil kakak?" Tanya Kinan menunjuk mobil di hadapannya. Arland mengangguk. "Aku kira kakak bawa motor," lanjut Kinan.

"Lagi pengen yang beda aja," timpal Arland membukakan pintu mobil untuk Kinan. Kinan tersenyum sekilas ke arah Arland sebelum masuk ke dalam mobil. Arland memutari mobilnya dan ikut masuk ke dalam mobiln. Tangan mereka sempat bersentuhan saat memasang sabuk pengaman. Mereka sempat saling menatap sejenak sebelum akhirnya sama-sama tersenyum dan memalingkan muka.

Jalanan Jakarta malam itu bisa dibilang cukup lengang. Ngebut, bisa saja. Tapi, Arland memilih mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia ingin menikmati waktu selama mungkin yang ia bisa dengan Kinan.

Tak lama mobil Arland berhenti tepat di area parkir Tugu Monas. Arland turun dan membukakan mobil untuk Kinan. Kinan turun, baru saja ia ingin berjalan masuk ke area Taman Monas, ia berhenti karena melihat Arland yang malah memanjat naik ke atas kap mobilnya. Kinan menghampiri Arland dan melihatnya dengan bingung.

"Coba kamu naik biar nggak bingung," ujar Arland. Kinan menuruti Arland. Ia naik ke atas kap mobil dan duduk di sebelah Arland. Arland berbaring dan menyuruh Kinan melakukan hal yang sama. Lalu Arland diam sambil memandangi Monas dari sana. Kinan merasa risih, orang-orang yang berlalu-lalang memperhatikan mereka.

"Kak-"

"Sssstt, nggak usah peduliin orang-orang. Cukup lihat aja ke arah Monas." Kinan melihat ke arah monas. Tidak ada yang spesial. Monas terlihat sama saja.

"Nggak ada yang spesial memang. Aku nggak bisa jelasin pakai kata-kata, cuman ngelihat dari sini itu lebih gimana gitu," celetuk Arland tiba-tiba.

Lama mereka berada di posisi itu, Arland tiba-tiba bangkit dan mengajak Kinan turun. Mereka pergi dari sana menuju ke tempat lain. Kali ini, jalan yang menuju tempat yang ingin mereka datangi lumayan padat. Kinan bingung kemana sebenarnya Arland akan membawanya kali ini.

15 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai pada tempat yang Arland tuju. Pasar malam. Wajah Kinan langsung berbinar. Lama ia tidak pergi ke pasar malam. Ia terlalu sibuk dengan buku-bukunya sehingga melupakan hal-hal yang senang ia lakukan. Kinan turun lebih dulu daripada Arland. Ia sudah tidak sabar masuk ke dalam sana. Arland terkekeh melihat wajah Kinan dan akhirnya menggandeng tangannya.

"Ayo!" Ajak Arland. Kinan mengangguk antusias. Mereka masuk ke dalam pasar malam itu.

Untung bagi Arland karena Kinan bukan tipe gadis pengeluh. Suasana di pasar malam ini penuh dan sesak. Kinan bahkan lebih sering menarik Arlanduntuk menaiki wahana atau membeli camilan.

Masih dengan memegang jajanan tradisional Rangin, mereka berdua kebetulan melewati sebuah warung menjual nasi Gudeg. Arland dan Kinan berhenti. Arland melihat wajah Kinan yang tengah melihat ke arah warung Gudeg itu dengan penuh minat. "Mau ke sana?" Tawar Arland. Kinan mengangguk antusias. Mereka berdua menghampiri warung Gudeg itu. Setelah memesan, Kinan dan Arland baru mengambil tempat duduk.

Sambil menunggu pesanan, Arland lebih memilih main game di ponselnya. Kinan sendiri sedang berkutat dengan pikirannya, dahinya berkerut.

"Ung, kak," panggil Kinan takut-takut. Arland memasukkan ponselnya ke dalam saku celana lalu memfokuskan dirinya pada Kinan.

"Apa?" Tanya Arland.

"Cowok yang waktu itu nyegat kita waktu pulang, itu siapa, kak?" Tanya Kinan takut-takut. Arland mengerutkan keningnya sekilas lalu memajukan dirinya dan menggenggam tangan Kinan.

"Janji kalau aku cerita ini, kamu tetep jadi Kinanku yang sekarang?" Pipi Kinan bersemu mendengar Arland yang memanggilnya 'Kinanku'. Kemudian, Kinan mengangguk.

"Setahun yang lalu aku sama Arya nggak seperti apa yang kamu lihat dari kita sekarang. Dulu kita berandal banget. Kerjaannya mabok, berantem, taruhan, balapan liar malem-malem." Kinan menutup mulutnya tidak ipercaya. Arland tersenyum tipis lalu menghela nafasnya. "Kita sering sampai rumah diatas jam dua belas dan itu kadang dalam keadaan mabok, babak belur, bahkan dua-duanya. Papa yang kelihatannya sekarang kalem-kalem aja sama anak-anaknya, bahkan pernah ngebogem kita berdua. Mama kerjaannya nangis terus setiap ngelihat kita berdua. Untuk urusan sekolah, kita berdua udah bener-bener nggak perduli. Selama ini yang bantuin kita berdua itu Zidan. Zidan yang rela nulis catetan tiga kali buat kita berdua. Ngerjain tugas tiga kali buat kita berdua. Dari kita bertiga emang Zidan yang nggak mau kehasut sama sekali. Dan aku sama Arya juga nggak mau kalau Zidan sampai kebawa kayak kita. Sampai akhirnya, ada satu malam aku sama Arya, lebih tepatnya aku, ditantang sama Vano buat balapan. Kita terima."

"Dan tanpa sepengetahuan kita malam itu, Letta sama mama dateng ke arena balap. Kita sama sekali nggak tahu. Mama sama Letta berdiri pas di depan garis finis, aku sempet oleng tapi aku masih bisa ngelewatin garis finis yang berarti aku menang. Vano marah-marah. Kita nggak peduli, yang kita pikiran saat itu cuman mama. Waktu kita turun dari mobil yang aku kendarain, mama udah pinsan. Kita langsung bawa mama ke rumah sakit. Letta marah sama Arya, dia minta putus. Arya frustasi. Papa dateng dan ngehajar kita habis-habisan di rumah. Baru setelah itu kita sadar dan nggak mau berhubungan lagi sama dunia balapan."

"Dan cowok yang kamu tanyain itu atau cowok kemaren itu Vano. Dia ngajak tanding ulang gara-gara malam itu aku udah ngalahin dia." Pesanan datang, Arland langsung meminum minuman yang ia pesan tadi. Sekarang ia menatap Kinan yang masih menatapnya.

"Setelah aku ceritain semua ini, kamu nggak bakal ngejauhin aku, kan?" Kinan senyum lalu memegang tangan Arland.

"Kak, semua itu masa lalu kakak dan udah berlalu juga. Aku nggak punya hak buat ngejauhin orang karena masa lalunya. Kita juga nggak bakal ada disini kalau nggak ada masa lalu." Arland tersenyum lega mendengar jawaban Kinan. Setelah itu, mereka memakan makanan mereka sambil mengobrol dan bercanda. Selesai makan, Arland mengantarkan Kinan pulang.

Dan ceritapun dimulai.....

#####

Halooooooooooooooo

Setelah sekian lama akhirnya, omaitudegat.......

Yaudah, deh. Silahkan dibaca, semoga suka. Bye

Jangan lupa vomment

Enough [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang