Kinan menatap sekitarnya tidak nyaman, ia tidak pernah pergi ke tempat ini atau lebih tepatnya tempat-tempat seperti ini. Terlalu ramai, terlalu berisik, dan terlalu banyak orang yang tidak ia kenali. Kinan menarik ujung kemeja Vano membuat si empunya menoleh.
"Kenapa?" Tanya Vano.
"Kakak masih lama?" Tanya balik Kinan.
"Nggak tau sih, Nan. Ini masalahnya temen gue daritadi belum dateng-deteng juga," jawab Vano yang membuat Kinan menggerutu dalam hati. Orang dari tadi ngomong mulu sama orang, emang mereka bukan temennya apa?
"Enggak, kalau kakak masih lama mending aku balik duluan aja deh, kak. Aku bisa pesen taksi online," ujar Kinan akhirnya.
"VANO!" Kinan dan Vano sama-sama menoleh ke arah sumber suara.
"Akhirnya dateng juga lo, lama banget sih!" Gerutu Vano menghampiri orang yang memanggilnya tadi. Kinan memutar bola matanya malas dan memilih untuk memesan taksi online.
Kinan diam menunggu pesanan taksinya sampai sembari memperhatikan Vano dan temannya sedang berbicara. Kinan bisa mendengar percakapan orang itu walaupun sedikit samar. "Jadi gimana balapan besok? Lo jadi tanding lagi sama Arland?" Kinan mengangkat satu alisnya heran. Arland? Kak Arland?
Seketika Vano menyuruh temannya untuk berbicara lebih pelan, lalu ia melihat Kinan dengan senyum kikuk. "Jangan kenceng-kenceng dong lo! Ntar kedengeran," ujar Vano yang dapat di dengar jelas oleh Kinan.
"Kenapa, sih? Oh, iya, katanya sekarang taruhannya cewek ya?" Kinan semakin penasaran mendengar ada barang yang dijadikan taruhan. Vano menjitak dahi temannya tadi. Lagi, Vano menoleh ke arah Kinan lagi. Kini ia menganggukkan kepala ke Kinan yang dibalas ragu oleh Kinan.
"Lo kenapa, sih? Daritadi kayak nggak enak gitu ama itu cewek? Oh, atau jangan-jangan itu cewek yang lo sama Arland jadiin taruhan?" Dahi Kinan semakin berkerut ia ingin melihat bagaimana reaksi Vano, benar atau tidak yang dikatakan oleh temannya tadi.
Lagi, Vano menyuruh temannya untuk tidak berbicara terlalu keras. "Bego! Kalau dia entar denger gimana?"
"Lah, biarin aja sih kalau bukan dia." Perkataan teman Vano membuat Kinan sadar.
"Iya, dia. Tapi, pelanin suara lo!" perintah Vano. Tepat saat itu taksi online pesanan Kinan sampai. Kinan langsung masuk ke dalam taksi tanpa pamit pada Vano.
"Jalan, pak!" Di dalam taksi, samar-samar Kinan mendengar namanya di panggil. Kinan tidak mau peduli, ia hanya bingung, kenapa orang-orang itu menyangkut-pautkan Kinan dalam masalah mereka, padahal saat ini saja Kinan sudah tidak ada hubungan apapun dengan Arland. Tapi, ada sedikit rasa sakit hati mengetahui Arland menjadikannya barang taruhan. Jika boleh jujur, Kinan memang masih ada rasa pada pria itu, tapi rasa itu Kinan pendam dan berusaha untuk melupakan, percuma saja jika Kinan mempertahankannya, Arland sudah menjadi milik orang lain, bahkan pada saat masih menjalin hubungan dengannya.
#####
"Kok lo mau sama dia sih, Let? Lo pinter padahal." Arya menatap kembarannya sinis.
"Maksud lo apa ngomong gitu, hah? Lo pikir gue bego?" Balas Arya tidak terima.
"Seenggaknya lebih pinter gue daripada lo," jawab Arland santai.
"Salah apa gue punya saudara kayak lo," keluh Arya sebal. Letta tersenyum melihat tingkah laku kedua bersaudara itu, sudah lama Letta tidak melihat mereka berdebat seperti tidak ada beban seperti sekarang.
"Tapi..." Arland diam tidak melanjutkan ucapannya.
"Tapi, apa?" Tanya Letta.
"Gue nggak yakin Kinan mau balik sama gue," lanjut Arland pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enough [END]
Teen FictionKinan si pemalu, dan Arland si pujaan. Sama-sama tidak pernah mengenal kata cinta. Saat mereka dipertemukan dan baru memperlajari apa itu cinta, halangan datang berusaha memisahkan mereka berdua.