“Kamu mau makan apa?” Bukannya menjawab, aku malah tersenyum memandang Karin. “Dave? Kenapa kamu memandangku seperti itu?” Dan sekali lagi, bukannya menjawab pertanyaan Karin, aku malah meraih sebelah tangannya yang masih memegang buku menu. Dengan perlahan aku mendekatkan tanganku itu bibirku dan mengecupnya sekilas.
“Da—Dave?”
“Terimakasih karena sudah mau menemaniku makan siang.” Aku kembali tersenyum pada Karin tanpa melepaskan tangannya yang ada di genggamanku. Ingin sekali rasanya mencium ke dua belah pipi Karin yang memerah seperti itu. “Kamu mau pesan apa?”
“Eh—itu...” Aku tertawa melihat Karin yang salah tingkah seperti itu.
“Sudahlah, leboh baik aku yang pilihkan saja.” Setelah mengucapkan pesanan kami, aku kembali menggenggam tangan Karin.
Melihat karin yang tersenyum bahagia seperti ini, aku sama sekali tidak menyangka apa yang pernah di alaminya dulu. Lihat saja, bila aku bertemu dengan pria bernama Raffa itu, aku tidak akan segan-segan membuhunya dengan tangan kosong.
Sejak pertemuanku dengan Mike kemarin. Seluruh pandanganku terbuka tentang hubungan Karin dengan dirinya. Aku bisa mengerti bagaimana mereka bisa menjadi sedekat itu. Dan sejujurnya aku sangat berterimakasih pada Mike karena telah menjaga Karin selama ini. Bila tidak ada Mike, aku tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada Karin.
Kami menghabiskan makan siang kami dengan penuh canda tawa.
“Kenyang?” Tanyaku pada Karin saat dia memasukkan sendok terakhir kemulutnya.
“Saking kenyangnya, kayanya aku bisa ga makan berhari-hari.”
Tepat saat Karin menyelesaikan kalimatnya, seorang pelayang kembali menghampiri kami sambil membawa sebuah nampan tertutup.
“Bukannya semua pesanan kita sudah di antar?” Tanya karin heran. Aku hanya tersenyum melihat kebingungan Karin.
“Anggap saja ini hidangan penutup khusus dariku.” Dengan mataku, aku mengisyaratkan pada Karin untuk membuka tutup nampan tersebut.
Aku bisa melihat ekspresi terkejut di wajah Karin. “Da—Dave... ini?” Karin mentapku tak percaya.
“Karin, maukah kamu jadi pendamping hidupku?”
***
Karin POV
Aku masuk ke kantor Mike dengan setengah berlari. “Mikeee!!” Tanpa aba-aba, aku langsung menhamburkan diriku ke pelukkan Mike.
“Tunggu... tunggu, ada apa ini? Kamu seperti orang yang baru saja mendapat undian rumah.”
Dengan gemas, aku mencubit ke dua belah pipi Mike. “Hari ini aku seneng banget.”
“Ck, Karinnnnn...” Dengan tidak sabar Mike berusaha menjauhkan ke dua pipinya dari jangakauan tanganku. “Dari pada kamu bereaksi mengerikan seperti ini, lebih baik ceritakan padaku apa yang terjadi.”
“Tadi...” Aku sengaja menggantungkan kalimatku.
“Ya? Tadi”
“Tadiiiii....”
“Tadi?”
“Tadi Dave memintaku menjadi kekasihnya.” Dan sekali lagi aku kembali memeluk Mike.
***
Sepanjang sisa pekerjaanku, aku tidak bisa berenti tersenyum. Ah, rasanya seperti jiwaku di bawa terbang ke langir ke tujuh, sangat menyenangkan. Kakiku melangkah dengan riang menuju lantai bawah dimana Dave telah menungguku.
“Mbak Karinnn...” Langkahku terhenti ketika seorang resepsionis memanggilku. “Ya? Ada apa Siska?”
“Ini Mbak Karin, tadi ada titipan rangkaian bunga untuk Mbak.” Aku mengerutkan keningku. Rangkaian bunga? Siapa yang mengirimkan rangkaian bunga padaku?
Dengan penasaran aku membuka catatan di rangkaian bunga itu.
Aku akan membuatmu kembali padaku.
-R-
Dengan kalab, aku mencari handphoneku.
“Mi—Mike...”
Dan semua menjadi gelap.
***
“Karin... Karinnn, ayo bangun sayang.”
Dave? Apakah itu suara Dave?
Aku berusaha membuka kelopak mataku yang terasa berat.
“Sayang...” Sekali lagi suara itu seperti memanggilku.
Silau! Aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa kali, berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu yang menerpa mataku.
Aku menyadari seseorang sedang menggenggam tangaku sambil terus meyebut-nyebut namaku berulang kali. Aku berusaha memfokuskan pandanganku pada orang itu.
Dave?
“Kamu sudah sadar?” suara Dave terdengar khawatir.
“Dave?”
“Ya sayang, ini aku.”
Apa yang sebenarnya terjadi? Aku menyadari sekrang aku sedang terbaring di sofa kantor Mike. Tapi mengapa aku bisa berada di sini.
Yang aku ingat, tadi aku bersiap turun ke bawah untuk menemui Dave di parkiran. Lalu siska memanggilku dan menyerahkan karangan bunga itu.
Karangan bunga?
“JAUHKAN BUNGA ITU DARIKU!” Aku berteriak histeris. Air mata mengalir dengan deras di ke dua pipiku.
Dengan kalap, aku meronta-ronta dari pelukkan Dave.
“Sayang... tenang, aku di sini. Dia tidak akan bisa mengganggumu.” Dan sederetan kata-kata menenangkan lain di ucapkan Dave padaku.
Aku berhenti meronta-ronta saat pikiranku mulai jernih.”
“Ma... mana Mike?” Tanyaku ada Dave. Bukankah sebelum pingsan, aku sempat meneleponnya terlebih dahulu?
“Dia sedang di bwah, menyanyakan siapa yang mengirim bunga itu ke sini.”
“Bu... bunga itu.” Ingin sekali rasanya aku menceritakan kejadian malam itu pada Dave.
“Tidak perlu, Mike sudah menceritan semuanya padaku. Kamu tidak perlu khawatir, aku akan selalu melindungimu.” Dave memelukku dengan erat.
Aku menutup mataku yang mulai berat, hingga akhinya tertidur.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
White Love
RomanceAku berdiri di sampingmu, namun... kau tak pernah melihatku. Aku selalu bersamamu, namun... bagimu aku hanya angin lalu. Kalau begitu... Aku akan berdiri di hadapanmu, agar kau dapat melihatku dan aku akan sedikit menjauh darimu, agar kau tak mengan...