Part 6

127K 4.9K 58
                                    

KARIN POV

                Langit sudah gelap ketika Mike membuka pintu dan membantuku turun dari mobil. Tepat di sebuah pintu besar, petugas berseragam hitam-hitam menghentikan kami dan memeriksa kartu undangan Mike. Kemudian seorang wanita memberikan kami pin yang sudah tertera nomor. Di pin yang kupegang terteran nomor 125 dan dibawahnya tertera namaku. Kulirik pin Mike, di sana tertera nomor 126, berbeda satu nomor dariku. Mike memasukan pin tersebut ke saku celananya, lalu ku ikuti dengan memasukan pinku ke dalam tas.

                “Siap?” tanyanya, yang di balas anggukkan olehku.

                Aku menggandeng tangan kiri Mike, sambil berjalan melewati sebuah pintu besar di hadapan kami. Saat kami masuk, ruangan yang awalnya berisik perlahan-lahan menjadi tenang sampai akhirnya hening. Aku merasa semua mata tertuju padaku. Kenyataan itu membuatku merasa tidak nyaman.

                Sebelum ini, aku tidak pernah menjadi pusat perhatian banyak orang, bahkan memikirkannya pun tidak pernah. Ku eratkan gandengan tanganku pada Mike. Mike menepuk lembut tangan kananku.

                “Takut?” kilatan geli terlihat di kedua matanya.

                “Tenang aja, mereka semua jinak kok.” Candaannya itu membuatku rileks.

                Aku berusaha setenang mungkin berjalan memasuki ruangan. Saat kami melangkah memasuki ruangan semakin dalam, aku seperti sedang diawasi seseorang. Orang itu menatapku dengan tatapan yang intens, tatapan yang sama sekali berbeda dengan yang di berikan orang-orang ketika aku pertama kali memasuki ruang ini.

                Di antara keramaian, aku mencari sang pemilik tatapan itu. Kemudian... mata kami bertemu, tanpa sadar, senyum mengembang di bibirku.

                Aku hendak berjalan menghapirinya. Tapi tangan Mike menahan pinggangku. Aku menoleh dengan kening berkerut ke arahnya. Dia hanya tersentum, kemuadian mendekatkan bibirnya ketelingaku.

                “Jangan!” mendengar larangannya, kerutan dikeningku malah semakin bertambah.

                “Kamu harus percaya sama aku.” Mendengar ucapannya, aku sadar Mike tengah merencanakan sesuatu. Walaupun tidak tahu apa yang sedang otak liciknya rencanakan, namun aku sama sekali tidak takut. Dia mengatakannya dengan sangat lembut, dan aku dapat merasakan kasih sayang dari nada bicaranya... kasih sayang seorang kakak terhadap adiknya.

                “Oke, tapi awas kalo kamu ngerencanain yang aneh-aneh, nanti aku aduin sama mami.” Mike menarikku ke arah yang berlawanan dengan tempat Dave. Mami yang ku maksudkan tadi bukanlah ibuku, melainkan ibu kandung Mike. Aku sendiri memanggil ibu kandungku dengan panggilan bunda. Bundaku dan mami Mike sudah berteman sejak duduk di bangku SMA. Itulah sebabnya aku sudah mengenal Mike dari kecil, walaupun status sosial kami berbeda.

                Aku di lahirkan dari sebuah keluarga sederhana dan aku adalah anak semata wayang. Ayahku meninggal karena serangan jantung saat aku SMA. Tapi hal itu tidak membuatku ke hilangan kasih sayang. Pada saat kuliah bundaku memutuskan untuk pindah ke Jogja, ke rumah eyangku. Namun karena sedang tanggung-tanggungnya menyelesaikan skripsiku, aku tetap bertahan di Jakarta, sampai akhirnya aku lulus dan mendapat pekerjaan di kantor keluarga Mike.

                Bunda pernah menyuruhku beberapa kali untuk ikut pindah ke Jogja, dia sangat khawatir karena aku tinggal sendirian di sebuah apartement (apartement yang kubeli dengan gajiku). Jangan memanggilku Karin kalau aku tidak dapat meyakinkan bundaku, bahwa aku baik-baik saja disini. Sampai akhirnya bundakupun menyerah dan membiarkan aku tinggal disini, dengan syarat setiap minggu aku harus berkunjung ke rumah orang tua Mike, agar bundaku yakin bahwa aku baik-baik saja.

White LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang