Typo bertebaran. happy reading.
[Sudah Direvisi]
***
Refleks saja ke empat orang yang sedang berbicara tadi menolehkan kepalanya ke arahku.
"Kamu kapan dateng Areta? Ko mama gatau?" tanya mama. Lihat, mama saja tidak melihatku sama sekali tadi.
Aku mengerucutkan bibir sebal. "Areta udah disini sekitar 2 menit yang lalu ma."
Mama terkekeh dan menganggukan kepalanya mengerti. "oh iya, kenalin ini Mami Marissa dan itu yang di sebelahnya Papi Davin, dan itu anaknya yang tadi siang mama bilang sama kamu" tunjuk mama kepada dua orang yang berada di depannya lalu menunjuk si pria sinis tadi.
Aku tersenyum formal pada Tante Marissa dan Om Davin. Mereka pun membalas pula dengan senyuman hangat, sedangkan orang yang terakhir di tunjuk mama hanya diam dan kembali fokus dengan ponselnya.
"Wah ternyata kamu lebih cantik dari yang tante liat di tv ya sayang." puji Tante Marissa.
"Makasih tante." ucapku diiringi senyum andalan.
"Jangan bilang tante sayang, panggil kami mami sama papi saja."
Aku tersenyum canggung.
"Kamu mau sampai kapan berdiri di depan pintu Areta?" tanya papa. Aku menepuk jidat pelan dan langsung berjalan pada kursi kosong yang ada di samping mama.
Setelah hening selama beberapa detik, Mami Marissa memulai membuka suara. "nah Areta, ini anak Mami satu-satunya namanya Austrin, kamu pasti tau dia." Kata Mami Marissa sambil memegang pundak Austrin.
Aku mengangguk pada mami dan tersenyum canggung pada Austrin. Austrin sendiri hanya melihatku sekilas.
"Ma, kapan dateng ke sini?"
Sedari tadi siang aku memang bertanya-tanya mengapa mama dan papa tak memberi tau padaku bahwa mereka ada di New York. Padahal aku ingin sekali menjemput mereka di bandara.
Mama hanya tersenyum dan saat akan membuka suara, pelayan datang membawa makanan. Melirik sekilas ke arah para pelayan yang membawakan makanan, aku melihat ekspresi mereka, ekspresiseperti akan meledak yang tertahan ck!
Dasar wanita.
Acara makanpun berlangsung dengan hening.
"Tante Tiara, Om Dave, Austrin mau mengajak Areta jalan-jalan keluar, boleh?" ucap Austrin saat kami selesai makan.
Aku yang menyadari bahwa namaku disebut oleh Austrin, menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya-tanya.
Mau apa dia?
Aku lihat mama dan papa mengangguk mengizinkan, bahkan Mami Marissa pun ikut mengangguk dengan semangat.
Berasa sudah mendapat izin dari orang tuaku, Austrin langsung melirikku dan menunjukkan pintu keluar dari ruangan VVIP ini menggunakan dagunya.
Ia berjalan santai di depanku sedangkan aku hanya mengikuti Austrin dari belakang, melewati lorong terang restoran bergaya modern yang megah.
Saat hampir keluar dari lorong restoran, aku berhenti berjalan dan otomatis Austrin pun yang merasa bahwa aku tidak mengikutinya ikut berhenti.
Ia menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa?"
"Hmmm apa tidak apa-apa kita keluar barengan seperti ini?" saat aku menyelesaikan perkataanku ada sedikit nada geli di akhir kalimat saat mengatakan kata kita.
"Apa kamu takut popularitasmu menurun karna berjalan denganku nona Areta?"
Aku buru-buru menggeleng. "bukan seperti itu Austrin aku hanya, hmmm ta-" ucapanku terhenti ketika tanpa aba-aba Austrin menarik tangan kananku.
"Hmm... kamu mau bawa aku kemana Austrin?" tanyaku karna sedari tadi kami hanya berjalan tanpa mengetahui arah. Oke ralat hanya aku saja yang sebenarnya tidak mengetahui arah.
Austrin tidak menjawab pertanyaanku, ia hanya terus berjalan. Aku menyirit aneh.
Bukan, bukan karna sikap anehnya Austrin, tapi yang aku anehkan adalah, jalanan yang harusnya ramai menjadi sepi, seperti ditinggalkan oleh penduduk kota padahal jam masih menunjukan pukul setengah sembilan malam.
"Areta!" bentak Austrin.
"Ah ya?" Tanyaku gelagapan karna sedari tadi sibuk dengan pikiranku sehingga melupakan Austrin. Seakan baru sadar dari mimpi, ternyata kami sudah sampai di tujuan.
Cahaya bulan malam ini sangatlah terang dan aku sangat menyukainya apalagi dengan air mancur yang berada beberapa meter didepanku.
Taman kota.
Entah ada maksud apa Austrin mengajak ku kesini, tapi yasudahlah lagipula jarak antara taman kota dengan restoran tempat kami makan tak terlalu jauh.
Saat sedang mengedarkan pandangan ke segala arah, aku melihat ada sebuah kursi taman panjang tepat didepan air mancur buatan. Tanpa berbicara kepada Austrin, aku langsung berjalan begitu saja meninggalkannya.
Duduk nyaman dikursi panjang yang disiapkan di taman kota ini, tak disangka-sangka ternyata Austrin pun mengikutiku dan duduk di sebelah kananku. Tentu saja dia menjaga jarak.
"Oke, aku takkan bertele-tele, aku pingin kamu nikah sama aku."
Petnyataan Austrin yang secara tiba-tiba itu membuatku tersedak.
"Dasar ceroboh." ketusnya tanpa memandangku.
Aku melihatnya dengan tatapan Elang-ku. Mau apa dia sebenarnya?
"Cih memangnya aku tak tau, kalo kau sudah disuruh nikah oleh Tante Teressa." lanjutnya dengan nada mengejek.
Permintaan mama yang menyuruhku menikah memang sudah bukan rahasia keluarga lagi. Berita-berita tak enak pun bermunculan sampai sekarang ini, walaupun mulai surut tapi terkadang aku masih kesal jika mendengar salah satu media masih membicarakannya.
"Kamu tau kan acara makan tadi diperuntukkan untuk kita?" tanya Austin. Pandangan mata coklatnya hanya lurus ke depan.
Sikapnya mulai lembut sekarang. Setidaknya untuk beberapa saat.
Aku mangangguk mengiyakan. "sebenarnya orangtuaku selalu menyuruhku untuk menikah, tapi selalu kutolak. Bukan karna aku ingin bebas atau apalah seperti apa yang orang lain inginkan, tapi aku hanya belum siap jika harus berkomitmen, aku takut akhirnya akan menjadi menyedihkan."
Aku alihkan pandanganku padanya. "ya, aku tau perasaan itu. Aku mengerti bahwa membina suatu hubungan bukanlah hal yang mudah. Dan rasa takut itu, aku sangat tau. Tetapi setidaknya hidup tanpa cinta tidak akan membuatmu berakhit menyedihkan Austrin. Dan Fyi, aku sudah tidak mempercayai cinta. Aku tau itu hal yang sangat bodoh, tapi percayalah, tanpa cinta hidupmu tidak akan terbebani."
Aku menutupkan mata dan merasakan udara dinginnya malam kota NY di hari ini. Sepertinya ia sudah lama tak berdiskusi dengan seseorang tentang perasaan seperti ini.
"Dan menurutku juga, menikah tanpa adanya kata cinta tidak akan membuat semuanya berantakan."
"Ya, sepertinya memang tidak akan berantakan."
"Aku rasa, karna kita sama-sama tidak percaya akan cinta, kita mungkin bisa memulai semua dalam ikatan pernikahan. Karna dengan ikatan itu, kita tidak akan meributkan tentang kata laknat itu bukan?"
Aku terkaget-kaget dengan kelanjutan ucapan Austrin. Aku tidak menyangka bahwa Austrin akan begitu nekat dengan melamarkau secara tidaj langsung. Aku merasa kaget dansangat malu dengan kejujurannya.
Apakah begini rasanya dilamar?
Aku meneguk salivaku yang terasa kering karna udara malam yang memang mulai mendingin.
"Aku rasa diammu merupakan sebuah jawaban Areta." Senyuman aneh tercetak di bibir Austrin.
Akupun tak menolak atau menerima omongan dari seorang Austrin, aku dilema.
Apakah kedepannya aku akan bahagia dengan Austrin? Walaupun aku tidak mempercayai cinta lagi, tapi aku tetap manusia yang membutuhkan kebahagiaan bukan?Sepertinya menerima ajakan Austrin takkan apa-apa, semoga.
***
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Couple [COMPLETED]
RomanceMenjadi sepasang suami istri tertutup mungkin nyaman untuk mereka jalani sekarang ini. Tapi memang dasarnya segala sesuatu yang disembunyikan akan menjadi buruk dihari-hari kemudian. Begitu pun mereka. terus menerus menyembunyikan diri, membuat mere...