17

42 4 5
                                    


Maisha mengedarkan pandangannya ia mencari-cari Rahma dari tadi, tapi ia belum menemukannya. Hanya satu tempat yang belum di datanginya, yaitu balkon terakhir sekolah ini. Tak lama ia menemukan Rahma di belokan.

"Rahma ...," teriak Maisha dari kejauhan, tapi Rahma malah menghilang di belokan dan Maisha pun sedikit berlari kecil ke belokan koridor itu.

Tubuh Maisha bergetar ia tidak tahu mengapa. Mungkin karena ia akan berhadapan langsung dengan Rahma yang telah merebut seseorang yang dicintainya.

Maisha sampai dan matanya terbelalak, ia melihat Rahma dipeluk mesra oleh Farius, tubuhnya melemas. ia menutup mulutnya tidak percaya, mata Maisha bertemu dengan mata Farius, mereka saling berpandangan tapi tidak saling bicara. Maisha hampir limbung, daripada ia sakit hati melihatnya Maisha langsung berlari menjauhi mereka.

"Lepaskan Farius!" ronta Rahma padanya.

Farius melepaskannya dan menghembuskan napas beratnya. Ia bersandar di dinding, ia menatap langit-langit dengan kosong.

Rahma bingung melihatnya. Ia tadi seperti mendengar seorang perempuan memanggilnya, hanya saja ia langsung dipeluk Farius tanpa alasan jadi ia tidak bisa melihat perempuan itu.

"Siapa yang memanggilku tadi?" tanya Rahma pada Farius, ia yakin jika Farius melihat perempuan itu.

"Bukan siapa-siapa." Dengan cueknya Farius berjalan dan meninggalkan Rahma sendirian.

Rahma sudah tidak tahu harus melakukan apa pada Farius, ia tadinya ingin mengembalikan Farius seperti dulu tapi Farius malah menjadi semakin parah.

Farius berdiri lalu meninggalkan Rahma tanpa alasan. Rahma berdecak sebal, Farius selalu pergi setelah melakukan sesuatu yang tidak disenangi Rahma.
Rahma menatap punggung Farius, ia tahu jika Farius sedang mengalami dilema di hatinya, ia sepertinya sedikit membutuhkan waktu untuk sendirian.

Rahma berjalan berlawanan arah dengan Farius, ia sangat penasaran dengan perempuan yang memanggilnya.
Rahma berjalan sambil menatap jendela, ia memikirkan pelajaran apa selanjutnya. Seketika Rahma berhenti, sekarang waktunya pelajaran Ben. Ia masih belum bisa move on darinya, ia belum siap. Akhirnya Rahma berniat untuk bolos pelajaran Ben.

Ia memilih menatap langit di atas sekolah. Ia menaiki beberapa tangga untuk kesana. Dan rasa puas mendatanginya, susana di atas sana sangat menyenangkan, ia merasakan kebebasan.

Ia membuka Hp dan memutar lagu classic, Rahma melangkahkan kakinya dan menjinjitkan kakinya. Ia memanjangkan tangannya lalu melompat dan berputar dengan satu kaki diangkatnya.

Rambutnya bertebaran karena putaran itu. Ia menunjukan beberapa gerakan ballet, hanya saja saat ia ingin melakukan gerakan melompat ia tidak bisa menahannya dan terjatuh. Ia teringat akan masa lalunya.

"Ibu ... kenapa ibu suka menari balet?" ucap Rahma kecil saat berumur delapan tahun.

"karena ibu merasa ringan saat melakukannya, dan juga ibu merasakan kebahagian saat ibu menari." Aisha mengusap rambut Rahma lembut lalu mereka berlatih lagi.

Rahma diajarkan berbagai gerakan oleh Aisha. Mereka tampak bersemangat melakukannya. Hanya saja kaki Rahma terkilir cukup parah saat berlatih, membuat Aisha khawatir dan tidak melatih Rahma menari lagi. Ia takut kehilangan Rahma, karena Aisha sudah gugur kandungan beberapa kali membuat ia ketakutan saat anaknya terluka.

Dari saat itu Rahma sangat membenci ballet karena pernah melukainnya, tapi hanya hal ini yang bisa membuat ia teringat akan ibunya. Orang tua Rahma pergi terlalu cepat, sehingga Rahma tidak bisa membalas kebaikan mereka.

Air mata Rahma berhasil jatuh dan membahasahi pipinya yang lucu, entah mengapa ia teringat lagi kepada ibunya. Dada Rahma terasa sesak lalu ia memukul mukulnya. Ia benar-benar hancur setelah kedua orang tuanya meninggal. Ia benar-benar tersiksa. Tapi Rahma selalu tabah dan sabar menghadapi takdir untuknya.

***

"Naya," ucap Ben mengabsen siswa kelas XI-Stars-1.

"Hadir pak." Naya mengangkat tangannya seperti biasa.

"Maisha," ucap Ben lagi ia langsung mengedarkan pandangannya di kelas itu dan melihat bangku Maisha kosong.

Seketika mata Ben membulat ia tidak menyangka jika Maisha bolos pelajarannya membuat dirinya khawatir.

"Ada yang tahu kemana Maisha?" tanya Ben kesemua siswa disana. Para siswa saling melirik dan mengangkat bahu mereka semua tidak tahu kemana Maisha.

Ben melewati nama Maisha dan menyebutkan nama selanjutnya."Pajar."

"Hadir selalu donk," ucap pajar lucu. Semua siswa langsung tertawa dibuatnya, selain playboy dan tampan ia seorang yang sangat humoris. Ben hanya menggelengkan kepala dan menyebut nama selanjutnya.

"Rahma."

Hening ...

Ben hanya berdecak heran. Ia tidak tahu sampai kapan Rahma akan bersikap kekanakan tapi ia bingung hanya Rahma dan Maisha tidak ada di dalam kelas, ia merasakan sesuatu yang tidak beres.

***

"Hiks ... Hiks ... Hiks ... " Maisha menangis tersedu-sedu. Ia berada di taman belakang dan duduk di bawah pohon.

Awan sangat hitam di atas sana dan mulai menurunkan rintik hujan yang membasahi bumi.

Farius menatap Maisha dari kejauhan. Ia tidak habis pikir mengapa ia melakukan hal tadi. Sebenarnya ia masih sakit hati atas penghinaan Maisha saat di London. Membuat hatinya hancur berkeping-keping.

Maisha masih menangis, ia menyesal atas sikapnya dulu pada Farius. Dulu ia merasa Farius sangat egois, dan haus akan kasih sayang. Ia tahu penyebabnya, karena Farius tidak pernah bertemu ibunya.

Gerimis menemani mereka. Maisha hanya diam membiarkan rintik-rintik air itu menyentuh tubuhnya. Ia bersedekap dan menatap ke depan dengan tatapan kosong.

Hati Farius tergerak, hatinya tidak sejalan dengan  pikirannya. Farius menghampiri Maisha dengan perlahan. Hujan sudah menembus kemeja putihnya. Sebenarnya ia sangat rindu sekali pada Maisha. Tapi ia masih ingat akan sikap Maisha dulu padanya.

Maisha merasa sangat lemas. Perutnya sangat sakit sekarang. Ia lupa tidak makan seharian dari tadi pagi. Kepalanya pun mulai pusing dan pandangannya jadi kabur lalu ia tergeletak tidak sadarkan diri.

Ben yang sudah mengamatinya daritadi langsung berlari. Ia menjatuhkan buku-bukunya tidak peduli. Farius juga panik dan bersegera menghampiri Maisha. Tapi nahas, ia terlambat. Ben sudah meraih Maisha duluan dan menggendongnya. Ben memberikan tatapan tajam pada Farius. Ben tahu jika Farius adalah penyebabnya.

Farius hanya terdiam. Sudah kesekian kalinya ia kalah dari Ben. Ketika Maisha ada masalah pasti Ben yang duluan akan menolongnya. Farius dari dulu selalu kalah oleh Ben karena Farius tidak mudah mengerti apa yang diinginkan Maisha.

Hujan semakin deras. Ben bersegera membawa Maisha ke UKS. Terlihat wajah Ben yang sangat khawatir akan wanitanya.
Rahma yang kebetulan melihat mereka bertiga dan menyunggingkan bibirnya. Ia tidak menyangka jika ia akan melihat kisah percintaan segitiga yang rumit.

Rahma masih di atap dengan payung di tangannya. Ia bersegera turun sembari menemui Farius.

Farius lemah, ia terjatuh ke tanah. Tiba-tiba ia susah untuk berdiri. Karena hatinya yang tiba-tiba sakit. Farius tahu jika ia kehujanan, pasti ia akan mudah Flu. Tapi ia tidak peduli, ia rasa hujan itu mengerti akan perasaannya.

"Jangan seperti pecundang!" ucap Rahma sambil memayungi Farius, "kau seperti kalah dari peperangan."

Mata Farius membulat. Benar juga apa yang dikatakan Rahma. Ia seperti pecundang saat ini. Ia ingin Maisha merasakan kesedihannya. Tapi dirinya terlalu lemah untuk melakukannya. Ia tidak tega saat Maisha menangis. Padahal saat Maisha menolaknya kehidupan Farius berubah 180°.

Farius berdiri dan meraih payung itu. Ia menatap Rahma. Mata coklat dan hitam bertemu dan terpesona oeh keindahan masing-masing lalu terbesit pertanyaan di kepalanya.

Jika di pikir-pikir mengapa Rahma selalu ada untukku?

***

My Love Is YoursTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang