[20] Just Leave!

790 54 0
                                    

       Elsa Calling.

      "Nathan, hasil tes ke tiga sudah keluar. Kamu harus ke sini sekarang. Karena Jemson akan menjemputmu disini.. dia akan melakukan perawatan mu di Jerman..."


***


      "Paham gak lo?" Tangan ku menampar kecil pipi Nathan.

      Nathan menghela nafas. Tangannya memijit dahinya.

      "Kenapa? Mencoba menghindar dari pertanyaan gue? Cepat jawab, lo mau pergi kemana? Jerman, korea, hongkong, china atau Afrika bertemu dengan suku Kuvukiland di gurun Kalahari? Jawab gue!" Nada bicara ku meninggi.

      "Jerman. Ya, gue bakal pergi kesana. Karena mama gue, sakit disana. Tadi yang menelpon ke ponsel gue adalah Elsa. Elsa bilang, kalau mama gue ingin pulang ke Indonesia, tapi dia tidak bisa. Jadi gue yang akan ke Jerman. Bersama... Elsa" Jelas Nathan.

       "Apa hanya itu? Gue rasa enggak. Lo bohong ke gue. Lo gak jujur. Jujur Tan" Aku memukul kecil dada Nathan.

      "Gue jujur" Ujar Nathan lirih.

      "Lo bohong! Gue hanya merasa lo bohong, Taaan"

      "Nadith, gue gak bohong"

       "Baiklah. Kalau begitu, pergi saja! Gue anggap hari ini perpisahan kita." Aku beranjak dari hadapan Nathan.

       "Bukan begitu, Nad!"

       "Dont! Just leave me!" Teriakku.

       Nathan menarik lenganku.

      "Tidak. Gue gak akan ninggalin lo"

      "Buktinya, lo akan pergi. Dan ucapan lo gak terbukti. Hanya uap lalu hilang di udara. Omong kosong"

      "Gue minta lo pahami keadaannya Nad"

      "Paham gimana? Gue gak tahu apa yang mau dipahami"

      "Lo harus paham rasa ini" Nathan menarikku ke dekapannya.

       Tangannya mengelus rambutku pelan. Untuk pertama kalinya, Nathan memelukku. Untuk pertama kalinya, aku sadar sepenuhnya sadar, bahwa aku memandang Nathan seorang pria. Pria yang sama seperti diluar sana. Bukan sebagai sahabat.

       "Nad, gue bohong sama lo, sejak lama. dan gue akan bilang hari ini"

       "Nathan. Jems. Putra Jemson, dan Meysenna, mengidap penyakit karena infeksi yang di sebabkan oleh HIV "

       HIV?

      Mataku membulat cepat. Jantungku berdetak tak karuan.

      Mendengarnya, aku tidak tahu harus berbuat apa. Jadi selama ini Nathan berjuang atas itu?

      Nathan mengidap HIV?

       Seketika tangisku pecah. Aku tidak pernah membayangkannya. Aku hanya membayangkan, bagaimana Nathan dan aku dimasa depan. Aku tidak memikirkannya, bahkan aku tidak bertanya kepadanya, saat ini apakah dia baik-baik saja atau tidak.

***

     Author POV.

      Elsa berdiri di depan sebuah ruangan, menunggu seseorang didalamnya. Di tangannya sudah ada beberapa lembar kertas.

      Tidak terhitung berapa kali ia berbolak balik di depan pintu itu.

       Sampai akhirnya seorang pria tinggi dengan jubah putih menyapanya.

For You, NathanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang