[11] I Dont Like Her

891 51 0
                                    


       Aku berjalan ke arah ranjangku, hari ini, yap hari ini. Gila. Jika Elsa hadir untuk menjauhkan Nathan dari diriku. Oke tidak masalah, tapi tidak dengan dia hadir untuk menghina keluargaku. Terutama ayahku. Apa dia bilang tadi. Ayahku seorang penggila uang? Hah, yang benar saja. Sejak kapan itu. Dan yang kedua dia menghina kakak ku, Angela. Kakak ku tinggal di L. A cuma untuk menjadi wanita penghibur? Gosip murahan. Tunggu, kenapa dia bisa mengenal keluargaku? Apa dia juga mengenal sudut kehidupanku?

      Aku teringat akan sesuatu yang sebelumnya aku memutuskan untuk tidak terlalu memperdulikannya.

      Abraham.

      Aku bergegas menuju kamar ayah, dan kembali mencari kunci dari peti persegi itu. Mengacak beberapa lemari dokumen, laci meja secara keseluruhan. Namun tetap tidak ada. Keringatku mengalir dari pelipisku, malam ini cukup panas. Ditambah aku keiling menguras tenaga mencari kunci peti itu.

      Tanganku terlipat didepan dada, telunjukku berdetak di daguku 'Penasaran' itulah yang ada dipikiranku. Nathan seorang penjahat? Dan Elsa Yang melindunginya? Nathan seorang penjahat Yang pesakitan? Maka dari itu Elsa harus menjaganya? Dan Nathan seorang penjahat yang pesakitan sekaligus memiliki hutang dengan Elsa sedangkan Elsa membenciku karena aku tidak memberinya tempat duduk saat itu dan Nathan berpihak padaku waktu itu, maka dari itu Elsa menjauhi Nathan dari ku? Arrgh. Pikiran itu.

     Tinong.

      Aku terbangun dari pikiranku yang terus saja bergejolak tentang Elsa. Siapa yang bertamu di jam 11 malam? Lagi-lagi. Apa ini sebuah teror?

      Aku turun melewati tangga dan membuka pintu, aku terkesikap melihat sosok yang berada didepanku, apa ini akan menjawab pertanyaanku, kenapa Elsa mengetahui tentang keluargaku. Senyumku melebar dan memeluk sosok pria dihadapanku.

     "Sudah lama sekali, Nadith kangen."

***

      "Iya pak, aman. Eh apa yang bapak kepsek bilang tadi? Saya di skor satu minggu? " Aku langsung berdiri dari kursi duduk ku, aku tidak menyangka, Pak Kepsek dapat terpengaruh oleh Elsa.

      "Oh, yayaya. Keputusan yang bijak. Apa bapak tidak mempertimbangkan betapa sulitnya seorang Nadith memperjuangkan kemerdekaan, kemajuan, kesejahteraan demi warga sekolah yang bangga kepada saya termasuk bapak, apa bapak tidak mempertimbangkannya?" Aku berorientasi didepan pak kepsek, berharap dia membuat hukuman bukan berupa skors.

     Mana sih pahlawan kesiangan gue.

      Pak kepsek menggeleng, waw gue di skor beneran? Sedangkan Try Out bakal diadakan diminggu ini, dan beberapa bulan lagi UN. Aku keluar dari ruangan kepala sekolah dengan tidak semangatnya, aku berjalan sendiri di koridor ini, biasanya aku bersama Nathan. Nathan Jems. Dia pasti nemenin gue ngejalani masa hukuman, alias ikutan kena skors juga.

     Kangen gue.

      Langkah ku terhenti secara perlahan, melihat Nathan dan Elsa berjalan beriringan. Berdua.

      Aku melihat mereka sembari melayangkan senyuman tipis. Aku tidak pernah mengirim senyum ke Nathan seperti ini, biasanya aku berada di posisi Elsa saat ini, lalu kami yang membuat orang tersenyum sepertiku ke arah kami.

      Bangun!

      Elsa melemparku senyuman sinis, senyuman penuh kemerdekaan, karena berhasil membuat Nathan dan Nadith tidak dekat seperti dulu.

      Aku melanjutkan langkahku, tanpa menyapa si Nathan gila satu ini. Begitupun Nathan, Nathan tidak mengganggu chilinya lagi.

      Apa! Apa! Aku menggerutu ke diri sendiri, apa perlu seperti ini masanya, biar aku paham betapa penting waktu bersamanya. Dia bersama orang itu, gadis yang dari pertama kali aku melihatnya, aku sudah memutuskan untuk menolak kehadirannya. Aku tidak menyukainya. Dia membuatku menjauhkan warna indah didalam hidupku. Entah apa yang sudah di negosiasikan oleh mereka, yang membuat Nathan seperti ini.

       Aku berlalu tepat disamping Nathan dengan jarak yang cukup dekat, sehingga mata kami bertemu saat itu juga, mata cokelatnya itu mengekori mataku. Waktu terasa sangat lamban berjalan. Aku rasa menjadi Nathan yang seperti ini merupakan azab bagi dirinya.

       Iya, Nathan terpaksa karena ada pertaruhan antara Nathan dan Elsa. Yang dapat merugikan Nathan. Itu yang dapat ku simpulkan dari wajah Nathan saat ini. Nathan juga tidak butuh sebuah perubahan. Nathan tetap Nathan, akan tetap jadi Nathan yang suka ngejahili chillinya.

      Tanpa sadar kami sudah saling berjalan menjauh. Aku menunduk wajahku tampak gusar. Mengepal tanganku dengan penuh kegeraman. Baiklah, persetan dengan itu. Yang harus aku ketahui adalah tentang ELSA REDESTA ABRAHAM. Dan Nathan, kita sahabat.

***

       Handphone Elsa bergetar disakunya, bertanda seseorang diseberang memanggilnya. Elsa menunjukan screen ke arah Nathan. Nathan mengangguk. Sambil tersenyum kecut.

      "Iya?"

      "Nona, Elsa. Hasilnya positif." Ucapan orang diseberang membuat Nathan berjalan mundur, pandangan tanpa makna lurus kedepan, dia terduduk badannya menyandar di dinding. Sesekali menarik rambutnya, dan bernafas kasar. Elsa berjongkok, menyamakan tinggi dengan Nathan.

      "Tan, lo bisa kok."

      Nathan mendongak ke wajah Elsa, tampak di matanya air yang siap turun. Elsa mengangguk, "Bisa, gue yakin."

      Nathan menggeleng, tersenyum pahit.

***

      "Aku pulang," Aku masuk kerumah dan melihat ayah sedang duduk menonton tv. Aku memeluknya dari belakang. "Baah." Surprise. Ayahku hanya tersenyum, aku memposisikan diriku duduk disampingnya.

     "Ayah.."

     "Hem?"

      "Aku memiliki baaaanyaak pertanyaan."

      Ayahku tertawa. "Akan ku jawab."

     "Kenapa ayah pulang malam sekali? Apa ada pesawat mendarat jam 11 malam?"

      "Sebenarnya ayah sudah pulang sejak dua hari yang lalu, ayah sempat menekan bel rumah, tapi kau tidak kunjung membuka pintunya, akhirnya ayah dijemput oleh teman ayah, lalu baru malam tadi ayah bisa pulang."

      Aku mengangguk, berarti Ayah yang menekan bel selama dua hari ini. Yang buat gue paranoid.



Nadith And Nathan

For You, NathanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang