#8 The Dream

196 18 0
                                    

Perjalanan pulang dari Michigan ini sangat melelahkan. Jack tidak dapat menggunakan koinnya untuk kembali ke New York sehingga mereka harus naik taksi. Hanako dan Jack tidak berbicara sepatah katapun. Mereka larut dalam pikiran mereka masing-masing. Michigan lebih menyeramkan dari New York, Saka, seandainya kau tahu itu, gumam Hanako.

Hanako dan Jack berjalan beriiringan menuju apartemen, masuk lift, dan terdiam. Suasana hening dalam lift membuat Hanako canggung setengah mati. Ia tak tahu bagaimana caranya memulai pembicaraan. Mereka memasuki apartemen dengan mulut yang masih terkatup rapat. Setelah meletakkan tas, Jack membuka kaosnya. Ia akan kembali tidur tanpa kaos---kebiasaannya.

Hanako perlahan mendekati Jack yang masih berdiri melamun. Ia bahkan melihat dengan jelas garis merah pudar di punggung Jack. 3 garis memanjang yang seakan membelah tubuh Jack.

"Jack... apakah masih terasa sakit?", tanya Hanako. Dia meraba punggung yang dipenuhi garis merah itu.

"Sedikit."

Jack membalikkan badannya. Dia memegang pundak Hanako. Sebuah senyum tersungging di wajahnya.

"Jangan cemaskan aku. Dan jangan pernah salahkan orangtuaku."

Hanako terperangah. Bagaimana bisa dia tidak menyalahkan orangtua yang menyiksa anaknya?!

"Tapi, mereka menyiksamu---"

"Itu kesalahanku. Aku melanggar janji. Itu resikonya." Dia tersenyum lagi pada Hanako. Lalu, menuju ke tempat tidurnya.

"Tapi mereka bukan orangtuamu!", sentak Hanako.

Hanako menyesali kata-katanya. Dia melihat Jack langsung berhenti melangkah dan badannya bergetar. Jack seperti tersambar petir mendengar perkataan Hanako.

"Memang! Tapi mereka menyelamatkanku---aku ini gelandangan tak ber-orangtua sampai mereka datang dan---sudahlah."

Jack meredam amarahnya. Dia tak mungkin marah pada gadis ini. Seharusnya, dia marah pada Rosie. Jack yakin, pasti Rosie yang memberitahu Hanako tentang masalah ini.

"Apalagi yang dikatakan Rosie padamu?", tanya Jack. Suaranya rendah dan dingin.

"Dia bilang dia iri padaku, karena kau memberi perhatian lebih padaku. Tapi, menurutku itu tidak masuk akal sama sekali." Hanako merebahkan tubuhnya di tempat tidur kesayangannya dan menarik selimutnya. Ia memiringkan badannya ke samping.

Jack mendengus dan mengusap wajahnya."Dia selalu iri pada siapapun---maksudku teman perempuanku. Aku heran padanya, apa selama ini perhatianku kurang? Kalau perhatianku kurang, untuk apa aku membelikannya Porsche dari hasil jerih payahku?", erangnya.

Hanako tak menyangka Jack bisa seperhatian itu kepada Rosie. Menurut Hanako, itu sudah sangat lebih dari cukup. Porsche? Yang benar saja. Hanako takkan berani meminta mobil pada orangtuanya atau kakaknya. Jangankan Porsche, untuk mobil butut ayahnya keluaran 1980-an yang ia taksir saja, ia harus bekerja keras.

"Dia mencintaimu, Jack.", ucap Hanako. Jack langsung memandang tajam ke arah Hanako.

"Katakan lebih keras. Aku tak bisa mendengarmu.", balas Jack. Matanya masih menatap tajam menusuk ke arah Hanako.

"Rosie mencintaimu Jack!", seru Hanako. Jack langsung melemahkan kekuatan 'tusukan' pandangannya itu. "Dia menginginkanmu.", lanjut Hanako.

"Tapi aku tidak. Aku hanya menginginkannya sebagai adik. Tidak lebih." Jack menarik nafas sejenak lalu menghembuskannya, baru melanjutkan ucapannya. "Dia bahkan tidak bisa terima kalau aku GAY. Padahal aku bukan gay baru, aku sudah lama menjadi gay dan aku sudah kebal pada perempuan. Semenarik apapun ia menggodaku, takkan menggoyahkanku." Jack tersenyum penuh kemenangan setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.

Unexpected Heart [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang