[19] - Janji

1.6K 79 0
                                    

Masih ditempat yang sama. Dan gue masih berfikiran yang sama. Kalo gue itu bener bener egois. Gue pun tak bisa membendung tangis gue lagi. Akhirnya butiran bening itu pun turun membasahi pipi gue. Bahu gue bergetar dengan irama naik turun. Dan suara isakan muncul dari mulut gue.

"Maaf kalo gue salah bicara." Suara Abidzar terdengar.

"L-o eng-ga sa-lah kok." Ucap gue terbata bata.

Sontak abidzar menyelipkan sebagian helai rambut gue dibelakang telinga. Ia menghapus air mata gue. Dan ia memeluk gue berusaha menenangkan isak tangis gue sambil mengelus punggung gue.

"Cewe cantik kayak lo itu nggak pantes dibuat nangis. Ntar cantiknya berkurang." Ujar abidzar.

Gue pun memukul bahu Abidzar dan berusaha keluar dari pelukannya. "Apaan sih lo!"

"Udah nangisnya?" Ujar Abidzar sambil mengelus pangkal rambut gue.

"Udah. Tapi gue mau tanya, boleh?" Ujar gue dengan suara yang masih terdengar parau.

"Ini lo barusan udah tanya."

Gue mencebikkan mulut gue dan tangan gue bersidekap didepan dada.

"Iya cepetan. Boleh kok tanya. Apaan sih yang ngga boleh buat bidadari." Ujar Abidzar cengengesan.

"Gue kan ngga ngebales perasaan lo, gue juga ngga ngehargain perasaan lo. Tapi kenapa lo masih berjuang buat gue?" Ucap gue sambil membenarkan posisi duduk.

"Ya gimana lagi. Gue udah berusaha berhenti berjuang. Tapi tetep aja nggak bisa. Kalo cewe kayak lo itu malah bikin gue greget. Cewe kayak lo itu pantes di perjuangin." Ujar Abidzar serius dengan pandangan mata ke depan.

"Sampe kapan lo mau berjuang?"

"Sampe titik darah penghabisan gue." Ucap Abidzar cengengesan.

"Ih alay lo. Yaudah ayo pulang." Ujar gue sambil berdiri menarik tangan Abidzar.

***

"Eh btw kurang berapa hari lagi kita libur skors?" Ucap gue sambil keluar dari mobil Abidzar.

Ini adalah pembicaraan pertama gue saat hening beberapa saat di dalam mobil. Sekarang gue udah sampe di rumah Abidzar lagi.

"Kurang 3 hari lagi." Jawab Abidzar.

"Eh udah pada pulang ya? Mama sama papa Zahra udah pulang dari tadi." Ujar tante Gita sembari membuka pintu.

"Hah? Yang bener? Ya udah ayo anterin gue pulang dzar!" Ucap gue sambil menarik narik tangan Abidzar.

"Kagak."

"Tai."

Akhirnya gue pun nurut sama Abidzar, gue disuruh masuk ke rumahnya dulu. Hanya untuk sekedar istirahat.

"Zahra naik aja dulu. Ke kamar Abidzar." Suruh tante Gita.

"Enggak ah tante." Elak gue sambil menggelengkan kepala.

"Ya udah kalo gitu duduk aja di depan tv." Ujar tante Gita sambil menunjuk ke arah ruang tengah.

Gue pun mengangguk dan berjalan ke ruang tengah. Gue duduk di sofa dan menyalakan televisi. Saat gue mengganti ganti channel televisi, si Abidzar dateng nyamperin gue.

"Udah ngantuk?"

"Belom. Gue maunya pulang!"

"Ntar gue anterin. Disini aja dulu."

***

Cahaya matahari sudah masuk ke celah celah kecil jendela. Gue pun menetralkan pandangan dan segera bangkit dari kasur.

'Hah! Kamar siapa nih?!' Batin gue.

Kamar yang bernuansa abu abu putih dan ini kamarnya khas laki laki banget. Ada DVD game dan ada poster tim sepak bola juga.

'Ini kamar Abidzar?'

Gue melihat sekeliling kamar, takut apabila Abidzar juga tidur dikamar ini. Gue melihat ke samping, bawah ranjang, di karpet. Dan semuanya ngga ada batang hidung Abidzar.

Setelah gue bangkit dari kasur, gue berjalan ke arah kamar mandi. Gue cuci muka, benerin rambut, dan sikat gigi. Terus gue turun ke bawah, ternyata tante Gita udah siapin masakan.

"Eh tante, Zahra bangunnya telat ya? Yah jadi nggak bisa bantu dong."

Tante gita menggeleng dan tersenyum tipis "engga kok."

"Ini tante bikinin kamu teh. Diminum." Lanjut tante gita sambil menyodorkan sebuah nampan.

"Selamat pagi, cinta." Ujar Abidzar dari balik pintu.

"Cinta lo tai! Kenapa gue tiba tiba ada di kamar lo?!" Ujar gue sambil mendengus kesal.

"Lo kemarin ketiduran di depan tv. Terus gue gendong lo ke kamar."

"Ih pegang pegang! Cari kesempatan lo."

"Terimakasih kek gitu. Malah marah marah neng." Ujar Abidzar sambil menyruput teh nya.

"Gue mau pulang. Anterin." Ujar gue sambil bangkit dari tempat duduk.

Abidzar menarik tangan gue saat gue bangkit dari tempat duduk. Gue pun menengok ke arah Abidzar. Tangan Abidzar menepuk nepuk sofa, mengisyaratkan untuk duduk disampingnya lagi. Akhirnya gue duduk lagi.

"Apa lagi sih?" Keluh gue.

"Gue janji nggak bakal berhenti berjuang buat lo." Ujar Abidzar sambil mengacak acak rambut gue.

"Gaje."

"Gue janji. Dan janji itu harus di tepati." Lanjut Abidzar.

Tangan Abidzar keluar dan menunjukkan jari kelingkingnya. "Janji."

"Apa sih dzar. Gaje tau nggak." Ucap gue sambil menelungkupkan kelingking Abidzar.

"Janjiiiiii......" Ujar Abidzar dan menunjukkan jari kelingkingnya lagi.

"Mana jari lo?" Lanjut Abidzar.

Akhirnya gue pun mengeluarkan jari kelingking gue dan mengaitkannya dengan jari Abidzar. Saat jari itu dikaitkan, Abidzar kembali berbicara "Gue janji bakal jaga lo, bakal perjuangin lo, bakal sayang sama lo terus, dan satu lagi. Nggak bakal ngecewain lo."

"Nggak usah alay bisa nggak?"

"Gue serius cinta."

"Gue duarius." Ujar gue sambil tertawa.

"Tapi gue nggak suka sama janji kayak gituan. Basi." Lanjut gue sambil menghadap ke arah Abidzar.

"Seiring berjalannya waktu pasti lo tau arti janji itu. Mungkin sekarang lo ngga ngerasain arti janji itu." Jawab Abidzar sambil mengelus kepala gue.

Bersambung......
Jangan lupa vote dan comment!

Promise [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang