"Lo ngehindarin gue ya, Ji?"
Yejia agak gelagapan. Pasalnya ia sekarang ada disamping Rajendra yang tengah menyetir. Setelah saling diam sejak tiga puluh menit yang lalu—dan semenjak itu juga Rajendra mengemudikan mobilnya nggak tentu arah—kedua orang itu sama sekali nggak ada yang membuka percakapan.
Yejia menoleh sekilas lalu tertawa canggung, "Kata siapa?"
"Gue bisa rasain, Ji. Gue kenal lo lama, gue udah hafal, Jiaaa."
"Engga, kok. Gue lagi nggak mood aja."
Nggak salah juga sih jawaban Yejia, karena memang dia nggak dalam mood yang baik. Rajendra manggut-manggut lalu menoleh sekilas seraya tersenyum meledek.
"PMS ya? Kok tumben nggak nyusahin gue?"
"Berisik, Al."
Rajendra terkekeh. Tangannya bergerak untuk menyalakan radio di mobil. Memilih-milih stasiun radio yang sedang memutarkan lagu enak. Hingga berhenti saat mendengar lagu yang diputarkan di Ardan Radio.
"Lo nggak mau kemana gitu, Ji?"
"Emm, kemana ya?"
"Jangan daerah Dago, ya? Bosen."
"Sama gue juga."
Bukannya menimpali, tanpa aba-aba tangan Rajendra terulur untuk mengusak sebentar rambut Yejia. Membuat netranya agak melebar.
"Ji," panggilnya.
Yejia menoleh, "Ya?"
"Bener ya, nggak ada persahabatan antara cewek sama cowok yang mulus tanpa perasaan."
Yejia terdiam. Sedetik kemudian Rajendra terkekeh pelan. Ia melirik ke arah Yejia lalu kembali fokus menyetir.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan mereka masih berkeliling nggak menentu arah. Tepatnya sih, Rajendra mengulur waktu. Rasanya sejak menyadari perasaannya pada Yejia, ia semakin ingin terus berlama-lama dengan sahabatnya itu.
Rajendra bahkan sama sekali nggak berfikir tentang perasaan Yejia yang entah suka pada dirinya atau pun nggak sama sekali. Intinya Rajendra akan terus berusaha, semua butuh proses. Hubungan pertemanan yang mereka jalin memang sudah lama, namun kalau untuk menjalin hubungan sebagai kekasih, Rajendra tahu, itu semua butuh waktu dan harus dimulai dari nol.
"Nonton yang midnight mau nggak?"
"Makan dulu tapi?" balas Yejia.
Rajendra berdehem, "Hm, pastinya. Gue udah izin kok ke Ayah sama Bunda. Ke Papa sama Mama juga."
"Iya, Al, iya, tau tau."
"Gue bilangnya mau nyulik anaknya sampe subuh."
Yejia tertawa ringan lalu memukul pelan lengan Rajendra. Sedangkan yang dipukul malah belaga akting kesakitan, membuat Yejia malah mencubit pipi kiri cowok itu.
Rasanya nyaman. Yejia suka suasana seperti ini. Terima kasih pada Rajendra yang menjadi pemicu mood nya buruk dan juga sekaligus obatnya.
"Ji, gue mau ngomong. Tapi sekali, tolong denger baik-baik ya?"
Yejia mengangguk pelan. Namun perasaannya mendadak gelisah nggak karuan. Jantungnya mendadak berdetak nggak karuan. Ada perasaan gugup dalam dirinya.
Tangan kiri Rajendra tiba-tiba menggenggam tangan kanan milik Yejia—membuat si empunya agak menegang terkejut seketika. Yejia tersenyum canggung, ditatapnya Rajendra yang menatap lurus ke arah jalan.
Beneran nggak ada yang bisa nolak pesona lo, Al. Termasuk gue.
"Bentar." ucap Rajendra seraya menghentikan mobilnya yang entah sejak kapan berada di parkiran Sherlock. Ini bukan malam minggu, tapi suasana kota begitu ramai.
Rajendra turun dari mobilnya menuju bagasi belakang, meninggalkan Yejia yang tampak kebingungan. Lalu kembali lagi dengan membawa se-bucket bunga mawar merah dengan satu buah paper bag yang berwarna merah berisikan coklat. Cowok itu duduk menyamping agar bisa melihat Yejia dengan leluasa. Sama halnya dengan Yejia, cewek itu bahkan sudah melipat kedua kakinya dan bersila menghadap Rajendra.
"Denger gue ya, Ji?"
Yejia meneguk ludahnya. Ia menatap Rajendra lamat-lamat. Tangannya mendingin. Keringat hampir membasahi pelipisnya. Jantungnya seperti habis maraton.
Di dalam mobil yang gelap namun ada cahaya dari luar yang menerangi mereka, Rajendra mengulas senyuman tipis seraya menatap Rajendra.
"Dari lubuk hati gue terdalam, gue Rajendra sahabatnya Yejia. Malam ini jam delapan lewat dua puluh menit, gue selaku sahabat Yejia cuman mau ngungkapin perasaan gue yang sungguh-sungguh sama cewek jutek dihadapan gue. Namanya Alana Yejia, yang setiap hari lari-lari di pikiran gue. Yang entah sejak kapan, jadi candu buat kapan. Yang entah sejak kapan, jantung ini berdetak cuman buat lo."
MATIIII. Yejia hampir nggak bisa nafas. Rajendra susah ditebak sungguh.
"Gue suka sama lo sedalam mungkin, gue sayang sama lo melebihi apapun, gue selalu mikirin lo daripada tugas-tugas. Cuman lo yang berhasil buat gue gini, Ji, kalau lo pengen tau. Gue udah jatuh sampai dasar, Ji."
Rajendra mengambil tangan Yejia kemudian ia letakkan di dadanya, "Jantung ini... saksi perasaan gue ke lo. Jantung ini selalu berdetak lebih cepat cuman buat lo."
Yejia mendadak pening. Rasanya ini diluar dugaan. Oke, Yejia juga merasakan hal itu kok. Dia nggak mau munafik. Karena memang nyatanya begitu, cuman Yejia belum siap aja nerima kenyataan. Tapi kayaknya, kali ini kenyataan lagi nggak berpihak pada Yejia.
Rajendra confess. Yejia ingin bicara namun rasanya kelu. Ia masih berusaha menetralkan segalanya.
"Yejia, mau nggak jadi pacarnya Rajendra?"
to be continue
A/N
Mana tega aku membuat mereka gak bersamaaaa wkwkwk cia. Double update tuh! Jangan lupa tinggalkan jejak wahai bucin yejeno heheheh❤