Pernah suatu kali Yejia berfikir, bahwa menjadikan Rajendra sebagai sahabat sehidup sematinya adalah pilihan yang paling tepat. Terbesit sekelibat bayangan dimana ia berfikir, "Buat apa punya pacar kalau udah ada Rajendra?"Iya juga. Untuk apa? Toh, selamanya Rajendra pasti tetap sahabatnya. Mau sampai kapan pun Yejia selalu bertekad agar hubungannya dengan Rajendra akan terjalin sepanjang masa. Tapi nyatanya nggak begitu, ketika Yejia sadar akan perasaannya pada Rajendra yang justru melebihi batasnya, cewek itu sadar, bahwa nggak akan selamanya hubungan persahabatan mereka berjalan mulus seperti yang ia angan-angankan.
Begitu pula dengan Rajendra, dengan selalu menyebut Yejia sebagai cewek gua, justru menjadikan boomerang tersendiri bagi Rajendra. Realitanya, ia yang jatuh lebih dalam pada sosok sahabatnya itu. Sungguh, keduanya bersyukur dan amat menikmati takdir ini. Tapi kenapa harus ada terselip kata putus akibat rasa kalut yang keduanya rasakan saat itu sih? Keduanya nggak menampik bahwa memang nyatanya kecanggungan meliputi mereka. Namun sebisa mungkin, baik Rajendra ataupun Yejia, berusaha keras untuk mengabaikan segala hal yang mengganggu pikiran mereka akhir-akhir ini. Setidaknya mereka harus berfikir lebih jernih agar kesalahan itu nggak terulang dua kali.
"Ngelamun aja?"
Rajendra agak terperanjat tak kala Yejia menempelkan sebotol minuman dingin dipipinya. Cowok itu melirik lalu mendengus, kemudian mengambil alih botol tersebut, "Makasih, Ji."
"Hmm." Yejia meminum minumannya lalu atensinya mengarah lurus ke arah orang-orang yang tampak memenuhi lapangan indoor seraya bermain basket.
Rajendra berdehem, "Ehm, Ji?"
"Iya?"
"Gua kayaknya mau stop basket dulu deh. Menurut lu gimana?"
Yejia mengernyit, "Kenapa? Bukannya basket itu separuh hidup lo?"
Rajendra tampak terdiam, lalu ia mendongak menatap langit-langit gor seraya menggeleng pelan, "Nggak tahu... tiba-tiba pengen aja."—basket emang separuh hidup gua, tapi kalau separuh yang lainnya hilang, apa bisa gua jalanin ini?
Elu, Ji. Elu.
Sayangnya, Rajendra lebih memilih mengutarakan apa yang ingin ia ucapkan dalam hati. Cukup kejadian yang lalu ia jadikan pelajaran, supaya kedepannya nggak terulang kembali. Begini saja cukup kan?
"Yejia, gua bersyukur kenal lu. Bersyukur jadi sahabat sekaligus mantan lu. Rasa ini masih ada kalau lu mau tahu, tapi tenang, I can handle it. Nggak usah khawatir, ini urusan gua."
Yejia menoleh ke arah Rajendra, cowok itu tengah tersenyum menatap lurus. Tersirat kesedihan dan ketulusan dalam bola matanya. Yejia agak terenyuh. Entah kenapa ia justru ingin menangis. Yang cewek itu lakukan sekarang, hanya tersenyum seraya mengelus pelan pundak Rajendra.
"Sama kok. Urusan kita sama, sama-sama mengurus perasaan masing-masing. Seenggaknya kayak gini lebih baik kan, Al? Yang terpenting, lo sama gue tetep jadi kita. Kita—sahabat."
Rajendra hanya mengelus senyuman tipis. Cowok itu bangkit dari duduknya, lalu diambilnya tas berisikan tektek-bengek basket dan disampirkannya pada pundaknya. Tangan kanannya terulur ke arah Yejia, "Yuk, jalan-jalan. Senin kan UAS, pasti bakalan jenuh."