"Lo sempet apain dia, Ji?" tanya Hilman.
Yejia yang tengah asik melahap nasi ayam penyet pun langsung berhenti dan memilih meminum es teh miliknya ketika mendengar pertanyaan dari Hilman.
Sudah tepat seminggu dan belum ada penjelasan apapun dari Rajendra, cowok itu bahkan seperti hilang ditelan bumi. Sungguh, Yejia berusaha buat nggak peduli tapi nyatanya susah banget.
Hilman mengangkat alis, seraya menatap Clea dan Naufal yang bergeming yang juga tengah makan bersama dirinya dan Yejia di warung nasi ayam penyet.
"Gue sempet nampar dia. Terus dia nggak bilang apa-apa cuman senyum aja. Gue kesel, tapi gue nggak maki-maki. Gue dorong dia sampe jatuh, terus gue pulang ke rumah Clea. Gue sempet denger dia teriak, tapi gue nggak peduli."
Yejia menjelaskan panjang lebar. Hilman menepuk pelan puncak kepala cewek itu, "Nah, pinter lo."
"Oh jelas." sahut Yejia bangga.
Oke. Katakan Yejia terlihat baik-baik saja, cewek itu menepati janjinya pada Clea. Nggak menangis lagi setelah hari itu. Hari-hari Yejia akhir-akhir ini pun ia habiskan bersama dengan Hilman, Clea dan Naufal, terkadang dengan Sheila, tapi cewek itu lagi sibuk-sibuknya jadi jarang kumpul. Kalau yang lain, agak susah ketemu karena jarak kampus mereka yang jauh, jadi jarang ketemu.
Perihal kejadian ini, cuman mereka berempat yang tahu. Karena kalau yang lain tahu, Rajendra bisa langsung hilang nyawa ditempat.
"Laura punya pacar sekarang." ucap Naufal seraya menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
"Tau darimana?" tanya Clea menyidik.
Naufal tersenyum geli melihat reaksi Clea yang ketara menahan sebal, "Kan antek-antek ku banyak, Beb."
Hilman mendengus. Sedangkan Yejia asik menertawakan ketiga orang itu.
"Pacarnya kating sih. Baru-baru ini dia jadian."
"Lo beneran lambe turah, Fal."
Naufal mendelik ke arah Hilman yang terkikik, "Ini bukan gossip. Ini fakta. Laura itu suka banget sama si Raj—"
"Tau." potong Yejia.
Naufal tertawa, lalu menatap Clea mengisyaratkan sesuatu.
Clea tersenyum paham, "Kayaknya nggak baik kalian berantem terus. Masalah nggak akan selesai kalau main kucing-kucingan gini."
"Males." Yejia memutar bola matanya.
Hilman ikut-ikutan, "Putus aja napa."
"Gue sempet mikir gitu. Tapi... masih ragu. Gue masih sayang dia."
Naufal tertawa renyah, "Cuci tangan lu, orangnya udah nunggu disebrang sana. Pake baju lusuh kayak gembel, rambut gondrong kayak rocker sama badan kurus kayak lidi. Sana samperin, selesain masalah lu berdua."
:::
"Maaf. Maaf buat semuanya. Maaf karena baru berani ketemu kamu setelah seminggu kejadian. Aku nggak cukup punya muka buat ketemu kamu, Ji."
Setelah diliputi kehening sekitar dua puluh menit, Rajendra pun berhasil mengucapkan permintaan maafnya pada Yejia.
Yejia menoleh, kemudian tersenyum tipis, "Nggak apa-apa. Aku ngerti, kok. Tenang aja, udah dimaafin, Al."
Rajendra terdiam. Kenapa Yejia bisa setenang ini? Ekspetasinya ialah Yejia akan marah lalu ia di caci maki. Namun realitanya malah sebaliknya. Yejia justru tersenyum lembut ke arahnya.
Rajendra makin merasa bersalah. Sungguh, seminggu ini ia merenungi semuanya. Mulai dari sebelum malam itu kejadian, ketika dimana ia dengan intensnya saling berbalas pesan dengan Laura, jujur nggak ada maksud lain, mungkin Rajendra saat itu cuman kebawa suasana. Bahkan perasaannya buat Laura dari dulu pun nggak ada, kan sudah ditekankan Rajendra itu hobi main-main. Mana ada dia serius, apalagi cewek seperti Laura. Itu dulu, sebelum dia sadar perasaannya pada Yejia.
Dan sekarang Rajendra menyesal sedalam-dalamnya. Bisa-bisanya dia bertindak demikian pada sosok yang tulus ia sayangi.
"Yejia, kamu boleh pukul aku. Tampar aku. Atau marahin aku. Atau tusuk aku pake pisau juga sekalian."
Yejia menoleh, "Kenapa harus?"
"Biar aku bisa rasain sakitnya kamu hadapin aku yang brengsek."
Cewek itu kembali menatap ke kiri ke arah luar jendela mobil, "Al, nggak usah segitunya. Aku udah maafin kamu, anggap aja beres."
Rajendra nggak bisa dengar kalimat itu. Sungguh, ucapan Yejia malah membuatnya semakin panas dingin.
"Kamu kurang makan ya? Kamu kurusan tau. Kenapa nggak cukur rambut juga? Udah kayak mang-mang gitu, Al."
Kedua mata Rajendra memburam, siap-siap meluncurkan air mata ketika ia sekali berkedip pun. Cowok itu menarik nafasnya perlahan lalu membuangnya perlahan. Ia malu pada Yejia. Kenapa cewek itu masih peduli disaat Rajendra berlaku seenaknya?
"Jangan gitu, Ji. Marahin aku aja, jangan peduliin gitu."
Yejia memukul lengan Rajendra tanpa menatap cowok itu, "Aku tanya kenapa, bukan minta jawaban begitu."
Dada Rajendra semakin nyeri, "Nggg, ak—"
Air mata itu lolos membasahi pipi Rajendra. Nafasnya agak tersendat. Yejia tahu Rajendra kini menangis dalam diam, tapi cewek itu memilih menatap jalanan melalui jendela mobil seolah-olah nggak tahu.
Sejujurnya, Yejia pun sama ingin menangis lalu memeluk cowok itu dan memukul-mukul Rajendra serta mengatakan, "Gue tuh kangen lo bodoh!"
Duduk disini saja, sudah menguras tenaga Yejia. Apalagi harus marah-marah dan memukul Rajendra.
"M-maafin... a-aku."
Rajendra menepikan mobilnya dipinggir jalan. Lalu membenamkan wajahnya dalam lipatan tangan yang ia taruh di stir mobil. Nafasnya belum beraturan, ia masih menangis.
Cuman sama Yejia, Rajendra menunjukkan sisi yang sebenarnya adalah dirinya yaitu soft boy. Orang di luar sana boleh mencap dirinya dengan berbagai sebutan. Tapi kalau untuk di depan Yejia, cowok itu apa adanya. Begini ya begini, begitu ya begitu.
Cewek itu menatap nanar ke arah Rajendra. Ini pertama kalinya, cowok itu nangis karena pacar. Dari dulu mana ada Rajendra nangis karena cewek. Yang ada cewek nangis gara-gara dia, sering. Karena sifatnya yang bikin kepala nyut-nyutan.
Jujur saat ini Yejia udah nggak butuh penjelasan apa-apa, karena semuanya udah kejadian. Dengan adanya Rajendra disini pun dia bersyukur, karena dia tahu Rajendra pasti mikirin semuanya sendirian.
Yejia mengusap pelan punggung Rajendra, "Kok nangis? Kan aku udah bilang, kalau kamu udah aku maafin."
"A-aku masih nge..hiks.. ngerasa bersalah sama k-kamu."
Yejia tersenyum tipis. Jemarinya beralih untuk mengusap rambut Rajendra, "Beneran nggak apa-apa, kok. Kamu udah berani ketemu aku juga, aku salut, Al."
Rajendra masih menangis. Yejia mendekat ke arah cowok itu, lalu memeluk Rajendra dari samping, menaruh kepalanya di bahu kiri cowok itu.
"Al, udah dong. Kalau kamu nangis terus kita putus aja ya?"
Rajendra langsung mengangkat kepalanya lalu menoleh kearah Yejia yang tengah menatap lurus. Tanpa aba-aba, cowok itu langsung memeluk Yejia dengan erat.
"Nggak mau putus. Nggak ketemu kamu seminggu aja aku udah hampir sekarat. Gimana kalau putus, aku mati kayaknya."
Ah, dasar. Ada-ada aja.
to be continue
A/N
Punten...