Putri berdiri di depan pintu ruangan praktik Lia dengan gugup. Ini pertama kali dokter itu memintanya untuk datang secara langsung. Walau entah darimana wanita berusia tiga puluhan itu bisa tahu nomor ponselnya, tapi setelah membaca SMS yang menyuruh datang ke sini, Putri buru-buru bergegas pergi.
Memang tidak ada hal aneh yang terjadi pada Jaka, tapi Putri tetap merasa khawatir karena mungkin saja sesuatu yang gawat sudah terjadi. Masih dengan cemas bercampur ragu, Putri mengetuk pintu di hadapannya sampai terdengar suara sahutan dari dalam, "Silahkan masuk."
Setelah mendapat izin, Putri membuka pintu. Dan seperti yang seharusnya memang ada Lia di dalam, lalu juga ada Wijaya. Eh, tunggu, kenapa kakek Jaka berada di sini?
Melihat wajah kebingungan Putri, Lia tersenyum, "Kemarilah, aku memang sengaja memanggilmu ke sini."
Wijaya memang juga tersenyum padanya, tapi Putri masih gugup. Dia kan bukan bagian dari keluarga Jaka, apa dia benar-benar boleh berada di sini sekarang? Dengan gelisah Putri berjalan masuk kemudian duduk di samping kursi yang ditempati Wijaya.
"Jaka mengatakan kalau Vian tidak bisa menceritakan masalahnya padamu. Jadi kupikir Putri lebih baik ke sini dan mendengar pembicaraan kami," Lia menjelaskan alasan yang membuatnya menghadirkan Putri di sini.
Putri menatap Wijaya dengan takut-takut, "Apa tidak apa-apa?"
Si kakek tersenyum lembut, "Tentu saja tidak masalah. Aku justru senang Nak Putri mau repot-repot datang ke sini."
Melihat dua orang di hadapannya sudah sepakat, Lia kembali bicara, "Baiklah, kita bisa mulai sekarang. Apa yang ingin Pak Wijaya bicarakan? Jarang sekali Anda menyempatkan diri datang ke sini sendirian."
Wijaya menghela napas, "Nakula akan pulang dan menetap seminggu di rumah. Aku khawatir karena baru-buru ini kondisi Jaka terlihat berbeda dari biasanya."
"Untuk keadaan Jaka, dia baik-baik saja kok. Tapi jika sampai dipertemukan dengan Nakula...," Lia menghentikan ucapannya sambil mengalihkan pandang ke arah lain dengan ragu, "aku tidak dapat menjaminnya."
"Aku tidak mungkin melarang anakku sendiri pulang ke rumah. Memang setelah pindah tempat kerja, sekarang Nakula sedikit lebih baik, tapi itu tidak merubah pandangan Jaka tentang ayahnya."
Walau dengan risiko sebesar apapun, Lia juga tidak dapat melarang pertemuan ayah dengan anaknya. Tapi salah satu penyebab utama Jaka mengalami Alter Ego adalah karena ayahnya, dan lagi sampai sekarang Jaka belum bisa mengatasi masalah yang satu ini, "Aku hanya bisa memberi satu saran. Biarkan Vian yang mengambil alih kesadaran."
Wijaya memegang kepalanya yang terasa pusing, "Itu satu-satunya alternatif yang bisa dilakukan."
Lia ikut memegang pelipisnya, "Ini memang selalu berjalan lancar. Tapi kalau pengulangan ini terus terjadi, Jaka semakin sulit untuk sembuh dari Alter Ego-nya."
"Aku memang pernah menasehatinya beberapa kali, tapi sepertinya tidak efektif karena Jaka menganggapku membela Nakula."
"Aku juga sudah mencoba menjelaskan pada Vian, tapi hasilnya juga tidak bagus."
Putri yang sedari tadi hanya mendengarkan menunjukkan wajah penasaran. Dan setelah memastikan pembicaraan dua orang yang lebih tua darinya selesai, dia mencoba bertanya, "Umm... memang ayah Jaka seperti apa? Vian tidak ingin menjawab pertanyaan ini."
Lia memang sudah sering mendengar tentang Nakula, tapi dia belum mengenalnya. Jadi Lia merasa tidak pantas memberi penjelasan atas pertanyaan ini, "Pak Wijaya, bisa Anda yang menjawabnya?"
"Nakula merupakan salah satu alasan Jaka mengalami Alter Ego. Dulu dia cukup temperamental dan ringan tangan pada istrinya dan juga pada anaknya. Puspa yang tidak menerima sikap itu jadi jarang pulang ke rumah. Hubungan mereka tentu memburuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego
Teen FictionPutri Yuniata hanya ingin membuat pernyataan cinta yang dilakukannya sebagai langkah awal untuk bisa semakin dekat dengan seorang Jaka Mahardika. Tapi ternyata pernyataan cinta ini justru membawa Putri pada sebuah perjalanan cinta yang aneh dan juga...