Enam

4.8K 298 1
                                    

Operasi yang menelan biaya ratusan juta itu tidak menjamin ibunya segera sembuh. Kalau pun sembuh, kemungkinan daya ingat ibunya tidak sampai 50%. Cedera di kepala ibunya cukup parah. Sering terjadi pendarahan di dalam otaknya dan banyak saraf yang putus akibat kecelakaan naas itu.

Annaya ingin menangis. Ingin sekali. Bagaimana mendapatkan uang sampai ratusan juta begitu? Gadis cantik itu harus berpikir cepat. Ia harus bisa mengambil keputusan. Tapi, keputusannya harus bagaimana? Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus curhat kepada seisi dunia tentang masalah yang dihadapinya? Kalau pun harus curhat agar mendapatkan belas kasihan, apakah ada orang yang akan membantunya? Ataukah seisi dunia hanya dapat memberikan belas kasihan tanpa memberikan apa-apa?

Ibu Naya adalah anak tunggal. Tidak punya saudara. Nenek dan kakek Naya semuanya sudah lama meninggal. Andaikan ayahnya masih ada, tentulah Annaya tidak sendirian memikirkan tanggung jawab ini. Untuk gadis yang baru ingin memasuki 17 tahun itu, mereka belum bisa memutuskan situasi besar seperti ini. Sebagian dari mereka, mungkin justru sedang senang-senangnya berfoya-foya. Sebagian dari mereka, hanya tahu meminta uang ke orang tuanya. Dan sebagian dari mereka, masih belum sadar ketika kelak orangtua mereka tidak ada, kepada siapa mereka akan berharap kalau bukan kepada diri sendiri.

Kalian pasti bertanya-tanya kemana Ayah Naya sekarang? Ya, Ayah Naya sudah lama meninggalkan ibunya waktu Naya masih duduk di bangku sekolah dasar. Dulu, keluarga Naya sangat mampu. Tapi sejak kedatangan orang ketiga, maksudnya wanita yang merebut ayah Naya yang merupakan suami Mutia kini langsung berubah seketika. Semua harta kekayaan yang dimiliki Mutia sudah habis dirampas oleh kedua makhluk serakah itu. Sebenarnya ayah Naya orangnya baik, cuman wanita itu saja yang sudah mempengaruhi ayah Naya sehingga berubah 360 derajat. Semua kekayaan Mutia diatas namakan oleh suaminya. Rumahnya dan segalanya lenyap dalam sekejap.

Annaya meminta waktu untuk mencari biaya operasi tersebut. Seminggu-dua minggu, sebulan-dua bulan, bahkan sehari-dua hari ia berupaya secepatnya. Sesegera mungkin ia akan berusaha untuk mencarinya. Tidak ada yang tidak mungkin.

***

"Maaf ya San sudah membuatmu menunggu, ayo masuk." Annaya membuka pintunya lemas. Naya sangat pusing. Naya hampir saja tumbang dari kursi roda, untung saja ada Sandra yang menahannya.

"Nay, sebenarnya ada apa sih. Lo janji kan ingin ceritain semuanya? Yang disekolah itu masih ngegantung, Nay." Sandra membawa Naya masuk ke kamarnya.

Setelah sampai di kamar Naya, Sandra mengulang lagi pertanyaannya. Yang ditanya hanya menelan ludah. Pertanyaan Sandra barusan terang saja membuat ia ingat kembali saat-saat kecelakaan naas itu terjadi. Kejadian yang membuatnya tak nyenyak tidur hampir setiap malam. Naya selalu saja terbangun tengah malam dengan penuh keringat dan nafas yang terengah-engah.

Sandra adalah satu-satunya sahabat yang saat ini mengetahui isi hati Naya selain suster Dinda. Tidak sembarang orang bisa menjadi tempat curhatannya. Bagi Naya, persoalan hidupnya tidak perlulah semua orang yang mengetahuinya. Cukup hanya dengan orang-orang tertentu.

"Jadi gini San--," Annaya menceritakan ulang semua kejadian tersebut tanpa ada yang terlewatkan, mulai dari berawalnya kecelakaan itu sampai rincian biaya. Annaya menceritakannya sampai lupa kalau ia sedang menangis. Hidung mancung mereka berdua kini berubah menjadi merah.

"Kenapa lo gak ngasih tau gue dari awal sih Nay, andai saat itu gue tahu, mungkin gue bisa bantu lo lebih awal." Gerutunya kesal lalu memeluk sahabatnya.

Mendengar cerita dari Naya, Sandra ikut merasakan betapa beratnya beban yang dipikul sahabatnya itu. Sendirian dalam mencari uang untuk memenuhi kebutuhan berobat ibunya. Naya sendirian juga dalam mengambil keputusan-keputusan besar untuk pengobatan ibunya.

"Gue minta bantuan lo ya San, bisakan?" Ucap Naya memohon.

"Apasih yang gak buat lo Nay," Sandra melepas pelukannya lalu menangkupkan kedua tangannya di wajah Naya.

Hari ini juga, Naya dan Sandra menjalankan seluruh rencana. Sandra yang mendengar berita tentang biaya operasi ibu Naya tidak sanggup berbuat banyak. Tetapi yang pasti, apa yang dapat ia bantu, pasti ia akan bantu. Seluruhnya, mulai dari tenaga, waktu, dan perhatian. Sebagai sahabat, Sandra tak akan pernah meninggalkan Naya saat sedang mengalami kesusahan. Ini bukan masalah kecil. Ini bukan masalah main-main. Ini adalah masalah serius yang menyangkut hidup seseorang.

Dari satu rumah makan ke rumah makan lainnya. Dari rumah makan padang, rumah makan sunda, sampai ke rumah makan lainnya. Semuanya tanpa terkecuali menjadi sasaran untuk mereka mengamen. Hari ini cuaca panasnya begitu terasa. Panas terik sepanjang jalan, debu-debu beterbangan. Soal keringat jangan ditanya, sudah meleleh deras di atas dahi. Bedak diwajah mereka pun sudah luntur dan lusuh, bau keringat menyengat, dan pipi yang kemerah-merahan. Kedua gadis cantik itu, tak seperti gadis-gadis lain yang selalu menghindari teriknya panas. Berteduh, dan tentu saja selalu berkaca kalau make-upnya luntur.

Saat mengamen ini pula mereka menjumpai berbagai macam karakter. Kalau ketemu yang baik, tak segan-segan memberikan uang sampai lima puluh ribu. Ada yang memberikan seribu, dua ribu, lima ribu, dan ada yang memberikan uang koin seratus rupiah, lima ratus rupiah. Itu hak yang memberi, ia mau memberikan berapa. Tidak ada paksaan. Ada juga yang hanya mengangkat tangannya sebagai kode tidak memberikan. Ada yang berbisik-bisik sambil melihat mereka bernyanyi. Entah apa yang mereka bisikkan, sama sekali tidak menganggu Naya dan Sandra untuk mengamen.

Hari ini adalah hari pertama mereka mengamen. Rasa pegal jangan ditanya, rasanya badan ini seakan-akan rontok. Terlebih lagi dengan Sandra yang harus membantu Naya mendorong kursi roda, pasti semua badannya sakit semua. Belum juga, mereka harus berperang adu mulut dengan pengamen-pengamen lainnya yang seolah-olah Annaya dan Sandra mengambil lahan tempat mereka mengamen. Kalau dipikir-pikir sih memang iya Naya dan Sandra mengambil lahan mereka untuk mengamen. Tanpa izin pula. Tapi kalau Dipikir-pikir lagi ini kan menyangkut rezeki. Rezeki sudah diatur masing-masing. Rezeki tidak akan kemana selagi berusaha.

Mereka juga harus berhadapan dengan preman-preman di jalan. Apalagi, mereka perempuan. Terang saja kedua gadis ini menjadi sasaran empuk bagi preman-preman itu.

Mereka juga harus berhadapan dengan orang-orang yang iseng di jalan. Menggoda dengan kata-kata yang tak pantas diucapkan. Sudahlah badan terasa pegal, harus berhadapan dengan orang orang ini pula. Tentu saja, hal itu membuat hati Naya berapi-api. Emosi. Ingin Naya mengajak orang orang itu berkelahi. Namun apa daya, Naya tak bisa berbuat apa apa karena kondisinya yang duduk di kursi roda. Apapun yang terjadi dengan hari ini, mereka berdua harus membawa uang pulang ke rumah. Berapapun hasilnya.

Mau sampai malam pun tidak apa. Tidak ada masalah. Sandra juga sudah minta izin ke orangtuanya untuk pulang malam. Dan Sandra juga sudah menceritakan semuanya kepada orangtuanya saat di telepon tadi. Tentu saja orangtua Sandra tidak menghalangi niat baik anaknya untuk membantu. Hanya saja, orang tua Sandra menasihati agar selama mengamen berhati hati.

Kalau Naya, mau minta izin sama siapa? Dia tidak punya siapa siapa lagi kecuali suster Dinda dan Sandra. Mau pulang atau tidak pulang, mau sampai tengah malam sekalipun mengamen, tidak ada yang melarang. Dia cukup meminta izin kepada dirinya sendiri agar tak lupa akan keselamatan selama dijalan, agar selalu kuat akan cobaan selama dijalan. Karena jika sampai ada apa apa dengan dirinya, siapa lagi yang akan merawat ibunya. Ya, siapa lagi. Semoga Naya tidak ada apa apa. Semoga...

Tbc

Annaya Karenina[TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang