Tiga

6.9K 351 1
                                    

Hari ini adalah hari kelima Naya di rawat di rumah sakit. Wajahnya benar-benar ceria saat dokter mengatakan Annaya sudah bisa pulang.

Hari ini, Suster Dinda libur. Namun, ia tetap datang untuk menemui Naya. Ia sudah mengetahui kalau Naya boleh pulang hari ini. Dan tentu saja, karena ia sudah berjanji untuk mengantar ke ruangan Ibunya.

Annaya saat ini sudah terampil berjalan menggunakan tongkat. Walau jalannya belum normal, tak mengurangi kecantikan wajahnya, terlebih kecantikan hatinya. Lebam dipipinya sudah pudar, balutan dikepalanya belum dilepas dan kedua kakinya masih digips. Sesekali terasa ngilu saat duduk di kursi roda. Namun, rasa ngilu itu belum seberapa jika dibandingkan dengan rasa penasaran akan kondisi ibunya. Ia harus bertemu ibunya sekarang.

Suster Dinda yang membantu mendorong kursi roda Naya sudah sampai di sebuah ruangan yang tak begitu ramai. Ada beberapa ruangan yang didalamnya hanya terdapat satu pasien dengan banyak peralatan medis yang menempel di tubuh pasien. Belum lagi ada layar berwarna putih dengan garis yang naik turun serta angka-angka.

Suster Dinda masih setia menemani Naya. Suster Dinda membantu membukakan pintu ruangan agar mereka berdua bisa memasuki ruangan ibunya.

Berderai air mata Naya melihat ibunya yang jika kalian melihat, tentu saja ikut meneteskan air mata. Kedua kaki ibunya di balut dengan gips sama seperti kondisi Naya. Tangan kanannya pun juga digips, patah akibat tabrakan malam itu. Sewaktu kecelakaan naas itu, ibunya mengalami pendarahan hebat di kepala. Kepalanya penuh balutan perban. Seluruh wajahnya nyaris lebam dan bengkak. Menurut dokter, harus dilakukan beberapa kali operasi karena pembekuan darah dalam otak tersebut.

Melihat kondisi orang yang paling ia sayangi, sudah pasti air mata Annaya mengalir deras. Berkali-kali Naya memanggil ibunya. Melihat hal ini, suster Dinda, kalaulah saja ia bukan seorang perawat yang harus tegar melihat kondisi apapun, ia akan ikut menangis. Dalam kondisi seperti ini, Dinda harus menjadi kekuatan bagi Naya. Apalah jadinya jika ia juga ikut menangis, siapa lagi yang bisa menguatkan Naya?

"Sayang, kamu harus kuat yah. Maafkan kakak jika kemarin kakak bilang ibumu baik-baik saja. Itu semua agar Naya bisa lekas sembuh, dan bisa lekas merawat ibu," Kata suster Dinda terbata-bata.

Naya hanya diam, menyeka air matanya pelan-pelan. Gadis itu memeluk suster Dinda, orang yang saat ini selalu menemani Naya saat sendiri. Tidak ada yang tahu akan kejadian ini, termasuk teman-teman Naya.

Naya meminta penuh harap kepada suster Dinda agar bisa menolong ibunya. Menurut dokter, jika kondisi ibunya dalam dua atau tiga hari kedepan belum membaik, akan dilakukan operasi ulang.

"Iya sayang, suster akan pantau terus ibu Naya. Semampu apa yang bisa kakak bantu, pasti akan kakak bantu. Tapi Naya harus kuat. Naya mesti sabar ya, sayang," Bujuk suster Dinda lembut, menatap wajah teduh Annaya.

Gadis berlesung pipi itu hanya mengangguk-angguk dengan bulir bulir air mata. Gadis pintar ini, ketika melihat kondisi ibunya, tak merasakan lagi rasa sakit di kakinya. Kini, ia ikut merasakan rasa sakit yang ibunya derita. Rasa sakit yang tak terucap.

Petang itu, langit jingga menghiasi komplek tempat tinggal Annaya. Anak laki-laki bermain bola. Sebagian mereka memanggil, "Hai, kak Nay!" sambil melambai-lambaikan tangannya.

Naya diantar pulang oleh suster Dinda. Walau sempat terjadi perdebatan singkat diantara Naya dan suster Dinda karena Naya yang tak mau merepotkan suster Dinda. Suster Dinda benar-benar tak hanya menjadi perawat Naya dan ibunya tetapi juga seorang sahabat dan juga kakak untuknya.

Ada secercah bayangan yang langsung muncul ketika mereka berdua memasuki rumah. Mulai dari Naya yang dikejar oleh ibunya sampai menaiki kursi, ibunya yang marah marah karena melihat Naya yang terus bermalas-malasan. Disisi lain, Naya melihat ke arah ruang makan yang selalu ditempatinya bercanda tawa dengan Mutia. Tapi perlahan bayangan itu memudar dan menyisakan ruangan kosong yang berdebu. Naya menyeka air matanya sambil sesekali tersenyum haru.

"Nay, kau baik-baik saja?" Tanya Dinda seketika dan Naya langsung mengangkat kepalanya, "Naya baik-baik saja kak." Jawabnya tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.

"Kalau begitu kamu istirahat dulu ya. Gak papa kalau kakak tinggal?" Naya tersenyum lalu mengangguk. Dinda langsung membantu Naya mendorong kursi rodanya ke kamar tidurnya. Setelah itu, dia langsung pergi meninggalkan rumah.

***

Malam ini, Annaya benar-benar sendirian, bertemankan suci dan sepi. Suster Dinda sudah pulang ke rumahnya untuk istirahat. Ia harus bertugas pagi-pagi sekali esok. Sebenarnya, suster Dinda menawarkan Naya untuk tinggal sementara di rumahnya mengingat ia hanya tinggal seorang diri dan kesehatannya yang belum bisa dibilang pulih sekali. Setidaknya, suster Dinda bisa merawatnya. Namun Naya tidak terbiasa menginap di rumah orang lain jika tidak ada hal yang begitu penting.

Malam ini, Annaya benar-benar penuh benci. Naya terdiam. Lima menit. Sepuluh menit. Matanya menatap kosong. Rumah terasa hampa tanpa penghuni. Terasa begitu asing. Tidak ada gaduh suara manusia. Hanya suara binatang malam seperti sedang berperang. Ingin rasanya Naya berlari sekuat-kuatnya, sekencang-kencangnya ke rumah sakit untuk menemui ibunya dan tidur di sana.

Naya, si gadis 16 tahun itu tidak tahu harus berbuat apa. Tidak tahu harus berpikir apa. Hanya merasa lelah, sedih, dan benci.

Namun kesedihan dan kebenciannya hari ini diganti oleh Allah dengan memberikan sebuah mimpi yang indah sekali. Selintas, ia mulai terlelap. Selintas pula ia bertemu dengan sosok ibunya yang entah dimana. Ia melihat dari kejauhan ibunya sedang berjalan dan tersenyum kepadanya.

Seketika, Naya berlari-lari mengejar lalu memeluknya. "Mama kemana saja? Naya takut mah." rajuk Annaya.

"Dengar anakku, kehidupan ini tidak selalu apa yang kita inginkan dan apa yang kita dapatkan. Kehidupan ini tidak selalu baik untuk orang-orang yang baik. Pun sebaliknya, kehidupan ini tidak selalu kejam untuk orang-orang jahat. Tapi percayalah Naya anakku, setiap perbuatan itu akan dibalas. Kau sudah cukup dewasa untuk mengerti hal ini. Perbuatan baik akan dibalas dengan baik. Sama halnya dengan perbuatan yang jahat, tentu akan ada balasannya sesuai perbuatannya. Itu sudah janji Sang Pencipta. Maka, bersabarlah anakku. Orang-orang yang bersabar akan selalu mendapatkan kabar gembira."

Annaya hanya mengangguk-ngangguk.

"Berjanjilah anakku, kau tak akan menangis walau sebulir air mata pun atas apa yang akan kau hadapi. Berjanjilah nak, kau akah terus tersenyum walau kau tak mendapatkan balasan senyuman. Sebab, senyuman adalah ibadah. Tersenyumlah, karena kau berhak bahagia."

Naya menyeka air matanya dan mengangguk paham.

Mimpi yang begitu indah, jikalau kalian melihat dalam tidurnya Naya. Ada satu bulir yang menetes di pipinya seolah-olah ia benar-benar nyata mengalaminya. Nasihat tadi begitu nyata sekali.

Beberapa saat setelah datangnya mimpi indah itu, tiba tiba tergantikan oleh mimpi yang sangat buruk. Di dalam mimpinya terulang kembali peristiwa malam itu saat Naya dan ibunya tertabrak oleh mobil yang berkecepatan tinggi. Keringat dingin sudah mulai bercucuran di wajah Naya, sesekali ia mengkerutkan kedua alisnya dan mendesah kasar.

"Tidakkkk!" Teriak Naya dan langsung terbangun dengan nafas yang tidak beraturan.

Naya langsung menyandarkan punggungnya di belakang tempat tidurnya sambil memeluk kedua kakinya ketakutan.

Sekarang Naya sangat takut berada di ruangan gelap dan tertutup (Achluophobia) karena Naya bisa saja mengingat kembali kejadian naas itu yang membuat ibunya terbaring lemah di rumah sakit.

Flashback Off.

Annaya Karenina[TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang