Dua hari telah berlalu. Pagi ini cerah sekali. Pukul sepuluh pagi rumah sakit masih seperti biasa, orang-orang silih berganti datang, menjenguk keluarganya dan sahabatnya. Dalam hal seperti ini, agama memang mengajarkan bahwa bagi kita yang sehat untuk selalu ingat menjenguk apabila ada saudara, keluarga atau sahabat kita yang sakit. Setidaknya dengan menjenguk, bagi kita yang sehat dapat menghargai dan benar-benar menjaga kesehatan sebelum sakit itu datang.
Begitu pula dengan Annaya. Pagi-pagi sekali sudah sampai ke rumah sakit, mumpung hari minggu dan tidak ada tugas jadi Naya menyempatkan diri untuk menjenguk sang bidadari surganya.
Ada yang beda dari dirinya. Raut wajahnya tidak seperti kemarin-kemarin penuh senyuman. Hari ini raut wajahnya penuh ketakutan.
Om Rudy dan Andrew masih berbincang serius di ruang administrasi dengan pegawai rumah sakit. Sesekali ia menelepon, entah menelepon siapa. Sedangkan Naya masih menunggu di luar, penuh gelisah. Harap-harap cemas, semoga saja permohonannya dikabulkan oleh pihak rumah sakit.
Hari ini batas pembayaran biaya rumah sakit selama sebulan ini pukul dua belas. Semua administrasi harus dilunasi. Tagihan biaya berobat pada bulan ini melebihi uang yang mereka miliki. Sebenarnya tagihannya dibayar setiap minggu, tapi karena mereka meminta tunda sebulan jadi ya seperti ini.
Om Rudi masih bernegosiasi dengan pihak rumah sakit untuk meminta tempo hingga besok pagi untuk melunasi segala administrasinya dikarenakan uang dimiliki belum mencukupi dan memohon agar ibu Naya tetap dirawat mengingat kondisinya belakangan ini semakin parah.
Termasuk Naya, juga ikut memohon kepada dokter yang biasa mengecek keadaan ibunya. Sebenarnya sang dokter juga ingin sekali ibu Naya tetap dirawat, namun apa daya segala peraturan yang berlaku adalah hak dari rumah sakit. Para dokter tidak bisa melanggarnya.
Om Rudy menggeleng-gelengkan kepala. Peraturan tetaplah peraturan. Tiada siapa-siapa yang dapat melanggarnya. Seluruh tagihan harus dibayarkan sebelum pukul dua belas siang ini.
Sekujur tubuh Naya gemetar. Menelan ludah. Pucat. Takut. Belum sadar dari koma yang berkepanjangan, kini Naya dan Andrew harus berhadapan dengan pihak rumah sakit untuk masalah tagihan.
Betul kata ibunya, bahwa kehidupan ini tidak selalu berpihak kepada orang yang baik. Walaupun begitu, kebaikan tetaplah selalu datang kepada orang yang baik.
"Om, apa yang harus Naya lakukan untuk menutupi sisa tagihan ini?" Pelan suara Naya, terbata-bata. Menangis, tentu saja bulir-bulir air mata telah jatuh dipipinya.
Om Rudy hanya senyum. Meminta Naya untuk tetap tenang, untuk tetap bersabar. Semoga nanti ada jalannya untuk membayar semua ini. Om Rudy sedang menelepon yang entah apa dibicarakan. Naya sudah tak mampu untuk menyimak. Pikirannya hanya tertuju kepada ibunya. Bagaimana dengan nasib ibunya?"
"Om, tidak masalah. Naya rela dan ikhlas. Jikalau mama sudah harus pulang ke rumah. Biarlah kami berdua yang rawat." Gadis ini sudah pasrah. Biarlah seperti air yang mengalir kemana aaja mengikuti anak sungai.
"Kamu harus seperti ibumu Nay. Harus percaya dan yakin bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Kalaupun tidak baik, yakin saja dulu pasti akan menjadi baik." Ujar om Rudy menenangkan Naya yang begitu terlihat wajah yang gundah gulana.
"Semuanya baik-baik saja kok Nay, gaada yang perlu dikhawatirin lagi." Andrew menatap lamat-lamat wajah adiknya seraya berlutut dihadapannya. "Apa aku harus percaya dengan kata dokter kak?" Tiba-tiba buliran bening jatuh membasahi pipinya lagi.
Andrew mengusap wajah adiknya lalu tersenyum, "Allah sayang kitakan Nay?" Naya mengangguk.
"Terus bagaimana dengan biaya operasinya kak? Kita sudah tak punya apa-apa lagi kak." Baru saja Andrew ingin bicara tiba-tiba Melvin memotong pembicaraannya sambil menuju ke arah mereka berdua. "Tenang aja Nay, kami sudah membayar tagihan rumah sakit."
Flashback On
Rapat organisasi Peduli Sosial baru saja selesai. Rapat yang dipimpin Melvin membicarakan permohonan apa saja yang sudah masuk dan membahas laporan permohonan yang mana saja yang akan diduluankan yang tentu saja akan dilihat dari beberapa faktor. Minggu ini, tidak seperti minggu-minggu sebelumnya, laporan permohonan bantuan bisa mencapai lima atau sepuluh pemohon.
Untuk minggu ini, ada dua laporan yang masuk. Tentu tidak banyak berdebat untuk menentukan permohonan mana yang akan lebih diduluankan. Dilihat dari data pendukung yang Sandra berikan, memang permohonan ini sungguh urgent dan harus sesegera mungkin dilaksanakan.
"Silahkan diskusikan permohonan mana yang kalian mau laksanakan." Ucap Melvin membuat semua peserta organisasi peduli sosial langsung berdiskusi.
Tidak butuh waktu yang lama, semua peserta telah sepakat untuk melaksanakan permohonan yang telah diajukan oleh Sandra, untuk membantu biaya pengobatan ibu Naya dan Andrew.
"Baiklah kalau begitu, kita akan segera melaksanakannya. Jadi kita akan berkumpul sore nanti disekolah. Dan kita juga akan bagi lokasi kalian untuk disebarluaskan. Tapi, untuk saat ini, kelompok satu dan tiga akan turun langsung ke lapangan dan memasang pengumuman di mading sekolah. Kelompok yang sudah tidak ada kepentingan lagi, silahkan kembali ke kelas kalian masing-masing." Jelas Melvin.
***
Sore harinya, semua anggota dari organisasi Peduli Sosial berkumpul. Melvin yang dibantu oleh Lolyta pun langsung membagikan lokasinya. Semua terlihat menganggukkan kepalanya artinya mereka setuju. Tanpa perlu mengambil banyak waktu, mereka langsung bergerak.
"Loly, ini hasil uang tadi pagi." Lolyta tersenyum lalu mengambil kotaknya. "Ok, makasih ya. Kamu boleh pergi."
Beberapa jam sudah berlalu, Melvin mengecek situasi anggotanya. Walau sudah terlihat sangat lelah, mereka semua masih tetap bersemangat dan sangat antusias. Mereka tidak menampakkan bahwa dirinya sangat lelah, mereka semua memikirkan keadaan keluarga Naya sekarang, memikirkan keluarganya yang sedang membutuhkan mereka semua.
Flashback Off
"Tenang aja Nay, kami sudah membayar tagihan rumah sakit." Ucap Melvin sambil berjalan kearahnya.
Beberapa teman Naya dan Andrew bermunculan dari belakang. Teman-teman organisasi Peduli Sosial juga datang. Dan ternyata, Lolyta sang sekretaris osis Melvin juga ikut datang.
Naya langsung memeluk Sandra, sahabat yang selalu ada saat suka-duka. "Tenang aja Nay, kami akan selalu ada untuk lo kok."
Lagi-lagi Naya meneteskan air matanya, lalu memperdalam pelukannya ke sahabatnya itu.
***
Ditengah keheningan yang menyelimuti mereka semua, om Rudy bercerita tentang sahabat yang ia tolong saat ini. Sahabat yang menjadikannya seperti sekarang ini. Seorang sahabat penyelamat. Kalaulah seandainya ibu Naya tidak ada waktu itu, mungkin kehidupan om Rudy sekarang tidaklah seperti ini.
"Wah, ibu Naya hebat banget, rela nolongin sahabatnya sendiri padahal dirinya juga sedang kesusahan." Ucap salah satu anggota Peduli Sosial.
Om Rudy tersenyum simpul, "Andai saja waktu itu Mutia tidak ada, mungkin om tidak akan berdiri di sini bersama kalian."
Naya pun ikut tersenyum lalu menarik nafas panjang, merasa lega. Segala perkara hari ini selesai. Ibunya tidak jadi dibawa pulang. Ibunya tetap di rawat di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan selanjutnya. Begitupun dengan Melvin dan Sandra, merasa sangat lega sekali sudah dapat membantu Naya.
Memang sewaktu itu apa yang ibu Naya lakukan hanyalah perkara kecil. Namun kita tidak bisa serta merta kebaikan kecil itu dilupakan. Kebaikan kecil yang diberikan orang lain untuk kita, boleh jadi merupakan jembatan atau pintu-pintu kebahagiaan besar.
Tbc
Maaf semuanya baru update lagi. Ini baru ada kesempatan buat ngarang lagi, akibat tugas banyaknya pake banget. Jadi baru sekarang sempetin buat ngarang lagi dan baru update.
Jangan bosan-bosan yah baca cerita aku, aku usahain kok bakal update terus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Annaya Karenina[TAHAP REVISI]
Teen FictionAnnaya Karenina adalah nama gadis itu. Gadis yang kehilangan semangat hidupnya akibat sebuah kecelakaan yang menimpa dirinya dan juga ibunya. Sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya dialah penyebab ibunya terbaring koma di rumah sakit selama berb...