tri

285 26 1
                                    

Ia membuka matanya dan melihat sekitar. Jam berwarna hitam yanng berdiri di atas nakas menunjukkan pukul enam pagi. Ia meraih kacamatanya agar bisa melihat lebih jelas. Ia akan merindukan kamar ini. Kamarnya yang bernuansa putih dan hitam. Buku-buku di tata rapi di rak yang disandarkan pada dinding. Sebuah kursi yang empuk berada di samping rak buku itu. Sejauh ini, sudut itu adalah tempat favoritnya. Ia bangkit duduk dan melihat sebuah koper putih yang telah ditutup rapat berdiri di pinggir lemari pakaiannya. Ia harus pergi hari ini.

Ia menginjakkan kaki di lantai lalu menatap jendela besar yang terbuat dari kaca. Ia tidak tau apakah ia akan merindukan rumah ini sebesar ia merindukan kamarnya. Ia menghela napas lalu memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Ibunya yang tercinta pasti telah menyiapkan sarapan untuk dirinya.

Ia membuka kamarnya lalu berjalan pelan menuruni tangga. Benar saja. Wanita itu tengah meletakkan satu pitcher jus jeruk di atas meja makan. Wanita itu sepertinya mendengar langkah kakinya dan menengadah  melihat sosoknya yang masih berada di atas tangga.

"Selamat pagi, Kasi. Selamat ulang tahun, Sayang." Manessa  mendekati ujung tangga dan menunggu Kastara turun. Ia lalu memeluk putra kesayangannya dan memberikan kecupan ringan di pipi. "Selamat ulang tahun yang ke dua puluh tujuh ya, Cinta Mama."

"Terimakasih, Mama." Kasi, atau Kastara, membalas pelukan Manessa singkat.

"Mama ada hadiah buat kamu." Manessa tersenyum lalu berjalan menuju lemari tempat ia menyimpan beberapa pajangannya. Ia meraih sebuah kotak berwarna ungu gelap dan menyerahkannya pada Kastara. Pria itu menerima kotak beludru itu lalu membukanya. Sebuah jam tangan mahal berada di hadapannya sekarang.

"Untuk menambah koleksi jam tangan kamu. Oh, dan Mama meminta mereka untuk mengukir nama kamu di sisi pinggir jam itu." Kastara menatap Manessa lalu memeluknya sekali lagi.

"Terimakasih sekali ya, Ma."

"Ya ela... Ada apaan sih, nih? Pagi-pagi udah pelak-peluk begitu?" Seorang pria lain berjalan dari atas tangga. Pria itu lebih muda dari Kastara. Rambutnya berwarna teal yang ia cat bulan lalu. Ia masih memakai pakaian tidurnya.

"Kakak kamu ulang tahun." Jawab Manessa singkat.

"Ha? Emang iya? Astaga!" Buru-buru ia turun lalu memeluk Kasi erat. "Happy birthday, ya Kasi."

"Batara! Yang sopan sama Kasi. Dia kakak kamu. Berapa kali Mama harus bilang ini ke kamu?" tegur Manessa. Batara memutar bola matanya.

"Happy birthday, Kakak Kastara. Kakak gue satu-satunya." ulang Batara. Kastara mengangguk.

"Sarapannya apa, Mi?" Batara bertanya pada Manessa.

"Mama cuma buat Jus jeruk dan roti panggang." jawab Manessa. "Jam berapa kamu pergi hari ini, Kasi?" Ia kembali menatap Kastara. Kali ini dengan tatapan sedih.

"Jam dua belas siang, Ma. Mama jangan sedih, ya. Aku pasti pulang dalam dua bulan." Kastara menggenggam tangan Manessa untuk menguatkannya.

"Tapi dua bulan itu lama sekali dan Mama tidak bisa lihat kamu selama itu, Kasi."

"Ma, sekarang kan jaman sudah canggih. Kita bisa video call." Ia tersenyum menampilkan lesung pipinya. "Ini ulang tahun ku, Ma. Jadi jangan pasang wajah sedih begitu, ya." Manessa mengangguk. Kastara lalu menggandeng Manessa menuju meja makan untuk bergabung bersama Batara yang sibuk memakan roti panggangnya.

"Lu di sana nanti bakal sama Papi terus dong, kak?" Batara bertanya setelah meneguk jusnya.

"Iya. Aku di sana kan memang untuk bantu Papa menyelesaikan projek itu."

"Enak banget! Lu bawa gue sama lu dong, Kak."

"Makanya kamu kuliah yang benar." jawab Kasi yang langsung disambut dengan kerucutan bibir Batara.

"Kasi..." Panggil Manessa. Kastara menoleh pada ibunya yang duduk tepat di sebelahnya. "Kamu harus janji sama Mama kalau kamu akan hubungi Mama tiap hari, ya. Mama pasti rindu sekali sama kamu."

"Ma, ini bukan pertama kalinya aku pergi ke luar negeri."

"Tapi biasanya tidak selama ini." Manessa menghela napas. "Mama tidak pernah jauh dari kamu lebih dari dua minggu. Lagipula buat apa Papa kamu meminta kamu ke sana? Bukannya dia mampu menyelesaikan semua masalah sendiri bersama timnya?"

"Papa sudah tidak semuda dulu, Ma. Lagi pula aku perlu belajar banyak jika aku ingin mengambil alih usaha papa setelah papa pensiun."

"Baiklah... Baik..." Manessa menghela napas. "Maaf kan Mama, Kasi. Hanya saja Mama sayang sekali sama kamu..."

"Mi... masih ada aku loh." protes Batara. "Memangnya aku sama Kasi beda banget, ya? Iya sih aku nggak seganteng Kasi. Tapi kan beda tipis, Mi." Manessa hanya diam saja menanggapi perkataan Batara.

"Ya sudah, aku titip Mama sama kamu ya, Batara." Kastara menatap Batara dalam-dalam. "Jaga Mama seperti aku menjaga Mama."

"Iyeee... iyeee...." Batara lagi-lagi memutar matanya. "Ya udah deh, gue mau balik ke kamar lagi. Lu kalau mau berangkat nanti panggil gue ya, Kasi." Batara beranjak dari kursinya.

"Kak Kasi, Batara." tegur Manessa lagi. Batara menghela napas.

"Iya, Mami. Nanti jika kakanda Kastara hendak pergi ke negeri seberang, Adinda harap Kakanda Kastara berkenan memberi tahu Adinda agar Adinda bisa keluar kamar lalu memberikan pelukan hangat." Batara berkata sengaja untuk menggoda ibunya itu. Kastara tertawa lalu menggelengkan kepalanya.

"Iya, nanti aku panggil kamu." Kastara berkata. Batara menepuk bahu Kastara kemudian kembali menaiki tangga untuk pergi ke kamarnya.

Manessa menatap kosong piring di hadapannya. Entah mengapa ia merasa sangat sedih hari ini. Ia tau sekali jika Kastara perlu pergi ke Belanda untuk menyelesaikan projek Harris di sana. Ia pun mengerti jika Kastara hanya akan menghabiskan waktu dua bulan saja lalu kembali. Tapi hatinya merasa tidak bisa membiarkan Kastara pergi.

"Ma..." panggil putra tertuanya. Manessa menatap Kastara. "Mama kenapa?" Kastara bertanya dengan lembut.

"Kamu boleh tidak pergi, Nak??" Kastara menghela napas. "Mama merasa tidak enak. Rasanya Mama sedih sekali kali ini."

"Ma, aku pasti akan menghubungi Mama begitu aku sampai di sana. Aku janji. Lagipula Papa ada di sana sudah dua bulan, tapi Mama tidak sesedih ini." Kastara mencoba menggoda wanita yang hampir berumur lima puluh tahun itu.

"Papa kan bukan anak Mama." Manesa merajuk.

"Mama tau kan, kalau Papa butuh aku di sana, Ma. Dan projek ini penting sekali buat Papa. Aku pasti pulang."

"Mama mau ke kamar dulu." Manessa beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menuju kamarnya. Kastara menatap punggung wanita itu sambil menghela napas. 

Sudah dari dulu ia tau bahwa Manesssa sangat protektif padanya. Seakan-akan hidup Manessa akan hancur jika tidak ada Kastara. Dulu memang ia sempat kesal karena semua sikap berlebihan Manessa padanya. Namun seiring berjalannya waktu, ia mulai mengerti. Wanita itu kesepian. Harris memang akan berada di sampingnya jika ia tidak sedang berada di luar negeri atau luar kota. Harris juga mencintainya. Namun Manessa selalu seperti berada di tempat lain walaupun raganya ada di sekitar mereka. Manessa sangat rapuh, namun Kastara tidak tau apa yang menyebabkannya begitu. Yang ia tau adalah, Manessa sangat bergantung padanya. Seperti tanaman dengan air.

**

Ketika Senja TibaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang