Pancadasa

188 24 0
                                    

Kamar tidur utama itu sepi sekali. Lampu yang berada di atas nakas masih menyala membuat ruangan itu menjadi temaram. Di tempat tidur, Manessa tengah tertidur nyenyak dibantu oleh obat tidur. Batara memperhatikan Manessa tidur dalam diam. Ia ingin sekali membenci wanita ini. Bagaimana mungkin ia menyebut dirinya seorang ibu padahal ia membuat anaknya menderita? Wanita ini tidak lebih dari seorang yang egois.

Ddrrttt...ddrrttt...

Lamunan Batara terhenti lalu ia merogoh saku celananya. Harris, ayahnya, menelepon. Batara membuka pintu kamar itu lalu menutupnya kembali. Ia tidak ingin percakapannya dengan Harris membangunkan Manessa.

"Iya, Pi." kata Batara menyapa Harris.

"Papi pulang besok, ya." Harris berkata.

"Iya, Pi. Sekalian aku mau ngomong sama Papi juga."

"Kenapa, Batara? Mami baik-baik aja kan?" tanya pria itu khawatir.

"Aku ingin membicarakan ini secara langsung, Pi. Jangan di telepon."

"Baiklah, Nak." Harris menghela napas. "Sudah dulu, ya. Tetap jaga Mami."

"Oke, Pi." Batara menutup telepon itu.

Batara menatap pintu kamar Manessa sekali lagi lalu ia naik ke kamarnya. Ia siap untuk membuka surat ke dua dari Kastara. Entah apa yang akan ia temukan kali ini, ia tidak tau. Satu-satu tangga ia lalui hingga ia tiba di depan kamarnya. Ia berusaha menenangkan dirinya lalu pelan-pelan ia membuka pintu kamar dan menyalakan lampu. Ia duduk di pinggir tempat tidurnya dan mengambil surat kedua dari laci nakas.

Tulisan tangan Kastara yang ramping tampak di sana.

**

Aku teringat masa kecilku. Hari itu sangat panas dan satu hal yang ada di otakku ketika aku akhirnya bisa mengakhiri waktu di sekolah adalah aku ingin cepat-cepat sampai di rumah dan mengunci diri di kamarku yang sejuk. Namun, ketika aku tiba di depan rumah, aku mendengar suara teriakan papa dan mama dari dalam. Lalu aku mendengar bunyi sesuatu yang pecah. Pasti mama. Lalu sayup-sayup ku dengar suara papa yang kehilangan kesabaran. Katanya, "....Kamu tidak boleh memperlakukan Batara begitu!"

"Cukup! Saya tidak tau apa yang kamu mau dari saya, dan saya tidak tau apa yang kamu maksud!" kali ini giliran mama yang berteriak.

"Batara itu putra kita!"

"Tapi Kastara juga putra saya!"

"Mengapa kamu tidak bisa mencintai Batara juga?" kali ini nada bicara papa melembut. Aku terdiam menunggu jawaban dari luar rumah. Itu juga pertanyaanku selama ini. Mengapa mama  tidak bisa mencintai Batara?

"Saya tidak pernah mengharapkan Batara." kudengar jawaban itu sayup-sayup. Ku tahan napasku. Apa maksud mama?

"Manessa!" Papa berteriak. "Apa maksud kamu?"

"Kamu tau bahwa saya hanya mencintai Kastara. Tapi malam itu, kamu yang setengah mabuk memaksa saya untuk melayani kamu hingga akhirnya saya hamil anak itu! Saya tidak menginginkannya!"

"Astaga, Manessa!! Sadar kamu! Kamu berbicara seakan Batara itu adalah anak haram!!"

"Bagi saya dia memang seperti itu!" Lalu ku dengar suara tamparan keras. Itu pertama dan terakhir kalinya papa menampar mama. Mama lalu terisak dan dia semakin membenci papa mulai hari itu.

Batara... aku bersyukur bukan kamu yang mendengarkan pertengkaran mereka hari itu. Biar aku saja yang mendengarkan, Tara. Aku tidak mampu membayangkan rasa sakit yang akan kamu hadapi jika kamu mengetahui ini semua. Dunia ini tidak adil, ya. Kamu tidak salah apa-apa namun dunia tidak berpihak padamu. 

Aku tidak akan pernah bisa menggantikan cinta seorang ibu yang harusnya kamu terima tapi aku berjanji padamu, Batara. Aku akan bersikap lebih baik padamu. Bagaimanapun kamu adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Arti keluarga bagiku adalah kamu.

Aku tidak bisa masuk rumah hari itu sampai akhirnya papa memutuskan untuk keluar rumah dan mendapati aku setengah tertidur di teras. Ia tau bahwa aku mendengarkan pertengkaran mereka. Ia menatapku dalam-dalam saat itu dan berkata, "Tolong jangan katakan apapun pada Batara."

Aku menatapnya dalam diam. Tak satu katapun keluar dari bibirku waktu itu. Aku sakit, Tara. Mengapa keluarga kita tidak normal? Mengapa kita tidak bisa mendapatkan seorang ayah dan ibu yang mampu mencintai kita sama rata? Mengapa kita harus mendapatkan seorang ayah yang sangat sibuk dan seorang ibu yang tak mengerti cara mencintai?

Maafkan aku, Batara... Aku menyimpan semua ini sendiri. Aku tidak mau melukaimu karena aku tau bahwa kamu sudah terluka cukup banyak. Kalau nanti aku tidak bisa mengatakan ini secara langsung, aku ingin kamu tau melalui perbuatanku padamu bahwa aku mencintaimu.

**

"Berengsek!" pekik Batara. Tangannya mengepal dalam kemarahan. Hanya Tuhan yang tau betapa sedih dan marah ia sekarang. Jadi ini jawaban yang selama ini ia cari? Ia hanyalah seorang anak haram bagi ibunya sendiri. Ia anak yang lahir bukan karena cinta, tapi karena alkohol. Ia ingin berteriak. Ia ingin mencaci maki. Air matanya tak sanggup ia sembunyikan lagi. Kali ini ia kalah. Hatinya robek hingga berdarah. Malam itu ia berharap ia tidak membuka surat Kastara jika ia tau bahwa surat itu berisi tentang kebenaran yang ia cari selama ini. Bukankah lebih baik jika kita tidak mengetahui kebenaran yang tidak kita harapkan? 

Ketika Senja TibaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang