Manessa membuka matanya pagi itu masih menggunakan pakaian kemarin pagi. Ia bangun dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Harris pasti sudah pergi dan Manessapun tidak ambil pusing dengan itu. Ia mengalihkan pandangannya pada kumpulan foto ia dan Kastara. Mendadak hatinya merasa perih. Ia berjalan mendekati figura besar itu dan mengusap wajah Kastara dengan penuh cinta.
"Kastara..." Hanya itu yang terucap dari bibirnya. Dua minggu sudah ia mencintai seseorang yang sudah tidak ada lagi di dunia. Ia meletakkan tangannya di dada karena dadanya terasa sakit sekali.
"Mama rindu..." tangisnya mulai pecah lagi. Rasanya mata itu selalu merah dan bengkak karena banyaknya ia menangis. Ia ingin menjeritkan kalimat: Mama rindu Kastara, keras-keras hingga Kastara kembali bangun.
"Nyah...." Seseorang mengetuk pintunya. Manessa menghapus air matanya lalu menghela napas. Ia membuka pintu kamarnya untuk melihat Ibu Ratih, pembantu rumah tangganya, berdiri di sana dengan senampan sarapan.
"Ini sarapannya, Nyah." kata Ibu Ratih. Manessa mengangguk. Ia membiarkan Ibu Ratih meletakkan sarapan itu di atas meja rianya. Ibu Ratih menatap mata Manessa dengan sedih.
"Nyah, ayo mandi dulu." Ibu Ratih menarik tangan Manessa ke kamar mandi pribadinya. Manessa tidak mengatakan apapun dan membiarkan wanita tua itu untuk membantunya mandi. Ibu Ratih mencuci rambut Manessa dan menggosok tubuh wanita itu. Ini bukan bagian dari pekerjaannya, namun ia tidak sampai hati membiarkan Manessa tidak terawat seperti ini terus-terusan.
Setelah selesai, Ibu Ratih memakaikan Manessa pakaian hitam lainnya, karena hanya warna itu yang wanita itu pakai selama dua minggu ini. Wanita tua itu lalu mendudukkan Manessa di pinggir tempat tidurnya lalu ia sendiri menyeret bangku rias ke sebelah tempat tidur Manessa. Ia berniat menyuapi nyonya rumahnya.
"Nyah, saya tau nyonya sedang sedih sekali dan pasti tidak ada selera makan." Ibu Ratih meremas tangan Manessa pelan. "Tapi nyonya harus makan. Walau sedikit." Ibu Ratih menyodorkan sesendok bubur ayam ke bibir Manessa. Kali ini Manessa membuka mulutnya.
"Kastara..."Kata Manessa setelah ia menelan buburnya. Ibu Ratih mengikuti pandangan Manessa ke arah figura besar itu. Ia lalu tersenyum sedih.
"Iya... Den Kastara tampan sekali ya, Nyah." Ibu Ratih kembali menyuapi Manessa.
"Iya. Tampan..." Manessa menyetujui. "Kapan Kasi pulang?" tanya Manessa pada Ibu Ratih. Wanita tua itu terdiam dan menatap mangkuk bubur itu tanpa tau harus menjawab apa.
"Kasi ke Belanda lama ya." Manessa menghela napas. "Dia tidak menghubungi saya." Manessa melirik ponselnya yang dalam keadaan mati. "Oh... Ponsel saya mati!" teriak Manessa. Ia tertawa kecil. "Pantas saja Kasi tidak menghubungi saya!" Ia lalu merogoh laci nakas untuk mengambil kabel pengisi daya ponselnya itu lalu menyambungkannya ke kontak listrik. Ia kemudian mengaktifkan ponselnya dan menunggu dengan sabar.
"Nyah..." panggil Ibu Ratih. "Nyonya harus kuat..." kata Ibu Ratih sedih. Manessa tidak menghiraukan wanita tua itu. Ia terus menatap ponselnya.
Mata Manessa berpendar ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dengan cepat ia membuka pesan itu namun lalu matanya kembali meredup karena kecewa. Bukan dari Kastara.
"Nyah..." Ibu Ratih mengelus lengan Manessa. "Sudah, Nyah..." Wanita kurus itu mulai menitikkan air matanya. Ia meletakkan piring bubur di nakas lalu memeluk Manessa.
"Kastara tidak menghubungi saya..." kata Manessa dengan sedih. Ibu Ratih menghapus air matanya lalu cepat-cepat pergi dari kamar itu. Ia sungguh tidak kuat lagi.
Sepeninggalan Ibu Ratih, Manessa mencoba menghungi nomor Kastara yang masih tersimpan di ponselnya. Sayangnya, beberapa kalipun ia mencoba, nomor pria itu tidak aktif sama sekali. Ia benar-benar ingin mendengar suara Kastara kalau tidak, ia bisa gila.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Senja Tiba
ChickLitManessa mencintai Kastara, putra sulungnya, dengan segenap hati. Baginya, Kastara adalah dunianya. Sebegitu besar cintanya pada Kastara sehingga terkadang ia lupa jika Batara juga miliknya.